Dari Yang Melarat

Daftar Isi Postingan [Tampilkan]

sumber gambar : osointricate.tumblr.com


      Manusia dilahirkan dengan membawa hawa nafsu, sehingga manusia tak akan pernah puas akan apa yang telah dicapai. Konon, tangan bayi yang menggenggam menunjukan sifat ingin memiliki yang besar. Sifat ingin merubah dunia, padahal tak ada yang harus dirubah melainkan diri sendiri.

     Akhir-akhir ini media menyuguhkan kita tentang miras yang kembali merekrut ratusan nyawa. Mungkin saja beberapa orang bakal nyeletuk "Ah, kenapa tak mati semua saja? Ngurangin orang bejat kan?", sungguh egois dan pernahkan kita berpikir apabila kita yang berada di posisi orang tersebut? Meninggal karena miras yang saya yakin mereka ingin mencoba miras kelas atas, namun kantong hanya lembar merakyat dan akhirnya malah tak ada kesempatan bersama keinginan-keinginan lainnya yang belum tercapai. Sungguh beruntung saya ucapkan pada penenggak oplosan yang selamat. Setidaknya, mereka masih diberi kesempatan agar memperbaiki diri, bahwa miras oplosan buruk bagi kesehatan dan ndak enak, lagipula susu jahe atau kopi clubuk lebih nikmat dan sama-sama merakyat.


     Miras tak ada hubungannya dengan Sony Wakwaw yang sedang kondang. Sony kecil dan gemagus ini sudah mengalahkan saya, bagimana bisa? Meskipun umurnya masih belia, dia sudah boyong ke rumah kontrakan barunya, duitnya sendiri, bukan hasil nyuri atau korupsi, melainkan lawakannya yang sering menghiasi layar kaca melalui sinetron Emak Ijah Pengen ke Mekkah (saya tidak pernah nonton, karena selain sinyalnya jelek, saya sering kalah dengan ibu saya yang suka drama korea, saya tau Sony Wakwaw dari infontainment Jum'at lalu #lah). Sony yang sedang 'merayap' ini pun berasal dari keluarga yang kurang beruntung, namun Tuhan adalah hakim yang paling adil, sehingga Sony adalah anak yang bejo, namun juga berbakat dan percaya diri. Dari Sony, saya belajar kekurangan bukanlah keterbatasan, jangan pernah berputus asa karena benar adanya kata Syahrini, banyak jalan menuju Itali Roma, banyak bunga-bunga.

     Masih tentang bahasan dari kaum bawah, tak sampai maksud merendahkan karena saya juga bukan miliarder dan lagipula memang tak semestinya. Selalu ada cuap-cuap pedas saat pembagian bantuan dari pemerintah. Ada yang nyeletuk "Kok yang dapet itu-itu aja sih?" "Kok saya ndak pernah dapet, saya kan juga pas-pasan" "Muka saya sudah pas-pasan gini ndak dapat juga? Saya jomblo sudah sekali jabatan Presiden, pak!" . Ada juga yang mencoba mengambil hak orang lain, dan ada juga-ada juga yang lainnya. Nah, cobalah, untuk menengok rumah mereka, apakah pantas disebut rumah? Lihat makanan sehari-harinya, tengok dapurnya dan tempat tidurnya. Itu pula masih termasuk 'beruntung' karena memiliki rumah, jika yang rumahnya dibawah jembatan bahkan tak terjangkau bantuan pemerintah? Tak akan terpikirkan dengan pendidikan, yang penting perut kenyang. Mereka bukan tidak pernah mengeluh, sama kok seperti kita. Namun selalu ada semburat tawa di wajah mereka, buat apa menentang garis-Nya.

     Banyak pun orang sukses di seluruh dunia yang berawal dari masa-masa kelam. Jadi, bagi orang-orang yang masih suka mengeluh, termasuk saya, kita dilahirkan bukan karena darimana keluarga kita. Namun, siapa kita dan apa tujuan kita. Apa yang diirikan dari mereka padahal sejatinya kita lebih mampu? Benar, kurangnya rasa bersyukur.
***

Tidak ada komentar

Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.