Pak

Daftar Isi Postingan [Tampilkan]

                Dan pada hari itu, ingatanku kembali ke 12 tahun silam, saat aku keluar dari gerbang SMA ini dengan baju warna-warni dan penuh tanda-tangan. Di tempat inilah, aku mengenal istriku, Irina.

“Yah, sampai sini aja, kata kakak OSISnya gak boleh sampai gerbang, nanti macet.”

Suara Ariana membuyarkan lamunanku, dengan cepat aku mematikan mesin, dan menyalami gadis ini di hari pertamanya MOS, sempat berbalik tersenyum dan menghilang bersama kerumunan siswa lainnya. Di saat itulah aku bagai melihat Irina saat SMA. Ah, Irina, sayang kau tak bisa mengantarnya bersamaku, pasti akan sulit sekali menjadi ibu dan ayah baginya. Terimakasih telah membawa Ariana dalam kehidupanku.
Selesai
***

                Ayah, ingatkah dengan potongan cerpen di atas, cerpen berhasil membuatku juara pertama di Hari Ibu, namun aku sengaja mengangkat tema Ayah yang dominan?

Ada begitu banyak hal yang ingin aku tanyakan dan ingin aku ketahui
Apa yang ayah rasakan ketika anak pertamamu yang sudah menjadi gadis ini lahir dan menjumpai dunia ini untuk pertama kalinya?
Apakah ayah bahagia dan berkata “Anakku ini akan menjadi wanita yang hebat kelak!”

                Selama ini, aku mengenal ayah sebagai pria yang tidak terlalu banyak bicara, tetapi ayah mempunyai selera humor yang bagus.
Ayah berbeda dengan ibu, tentu saja.
Ayah memang tidak memberiku nasehat –nasehat secara langsung seperti ibu, tidak sedekat aku dan ibu bagai dua orang sahabat, tapi aku tahu ayah selalu dan akan menyayangiku, memperhatikanku.
Seringkali, ayah memperlihatkanku apa itu kasih sayang seorang ayah melalui tindakan. Iya ayah, seperti seharusnya seorang pria dewasa.

                Apakah ayah ingat saat aku kecil menangis karena bertengkar dengan ibu karena hal sepele, ayah yang mendatangiku, menceritakan sebuah dongeng kancil, membuatku berhenti menangis dan balik mendengarkan sampai ngantuk. Ketika selesai, ayah bilang “Sudah, besok ayah tinggal cerita Ayam Jago, sekarang tidur ya?”.

                Lalu ingatkah ayah saat aku begitu iri dengan kehadiran adik perempuanku yang baru berusia beberapa minggu? Aku ingat saat ibu bilang “Kamu sudah besar, Kakak. Kamu sudah tidak ibu gendong lagi ya?”.
Aku merasa seluruh perhatian ibu hanya pada adikku, aku jadi sering bermain sendiri atau menyendiri. Lalu lagi-lagi ayah datang dan menggendongku, mengajakku bermain ke rumah saudara.

                Bagiku ayah adalah pengendara yang hebat, melebihi Jorge Lorenzo atau Marc Marquez, ayah selalu dengan senang mengantarkanku ke sekolah hingga mengantarkanku ke tempat tes seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri, hal kecil seperti ini yang pasti anak gadis lain jarang mendapatkannya. Bahkan dengan konyolnya ayah menawari mengantarkanku rutin ke Perguruan Tinggi.

                Ayah, ingatkah dulu saat kita bertengkar, dua kali saat aku sedang di usia remaja, iya, usia dimana aku masih naik turun emosinya, begitu egois dan pembangkan seakan begitu mudah menjadi orang yang bebas dari orang tua. Aku menangis lagi, ayah, sendirian, namun bedanya, ayah cepat memaafkan walau aku diam, ayah tetap berbicara seperi biasa seperti tak ada apapun terjadi.

                Aku suka cara ayah membangunkanku di pagi hari dengan lembut,aku suka cara kita mengobrol saat aku dan ibu bertengkar masalah sepele, aku suka cara ayah yang memilih diam saat ibu sedang bicara panjang lebar, aku suka sifat ayah yang suka mengedepankan kepentingan orang lain daripada kepentingan individu.

                Dan aku teringat ketika aku memasuki masa SMA, masa dimana semua gadis mendapatkan sesuatu yang spesial pada umumnya, teman baru, atau bahkan pacar baru, prestasi baru bahkan semangat baru. Namun, masa SMAku buruk sekali, tidak mengikuti organisasi apapun, tidak memerhatikan pelajaran karena semata kecewa dengan jurusan yang ayah pilihkan, dan disaat aku begitu ingin memperbaikinya, aku gagal. Aku ingin sekali mendapatkan nilai ujian yang bagus, namun aku gagal, aku merasa menghabiskan begitu banyak uang, waktu dan tenaga ibu dan ayah. Aku ingin sekali menjadi gadis kecil polos lagi yang selalu menjadi bintang kelas, dan tak takut pada apapun.

                Ayah, akhir-akhir ini aku justru lebih sering mengecewakanmu, ayah sering bercerita anak-anak lain yang sudah sukses, yang terkadang membuatku merasa lebih gagal. Dan aku terpikir mengapa tidak ayah cari saja anak seperti itu dan aku mencari ayah yang lain, namun, kita adalah tim, Yah. Ayah adalah ayahku dan aku juga putrimu. Kita ada karena sebuah alasan dan rahasia Tuhan, bukan sekarang, Ayah.

                Terkadang aku bertanya, apakah Ayah merasa kesepian dengan dua anak perempuan, maksudku, tanpa anak laki-laki di keluarga ini. Apakah Ayah terkadang sangat ingin berbicara antar lelaki, bermain sepak bola, atau membicarakan ibu yang cerewet saat kerutan di wajah Ayah mulai bertambah?

                Ayah, masih begitu banyak hal yang ingin aku pelajari, masih banyak tempat yang begitu ingin aku datangi, begitu banyak jalan yang belum aku jejaki, dan begitupula dengan impian yang belum aku capai.

                Ayah, terkadang aku merasa sudah begitu dewasa, namun sampai nanti aku akan tetap menjadi gadis kecil yang cengeng di mata ayah, tetap butuh tangan kokoh Ayah sebagai perlindungan.

                Ayah, suatu saat nanti aku akan menikah, ada masanya juga aku tak akan lagi merepotkan ayah, sudah tak lagi anak yang beranjak dewasa yang meminta uang untuk membeli buku sekolah atau meminta jemputan, yang ada calon imamku yang akan menjemput restu Ayah, bahwa gadis kecilnya sekarang sudah dewasa dan sukses, bahwa sudah waktunya aku dijaga dengan tangan yang lebih kuat. Yang kemudian akan dijawab dengan selera humor Ayah yang tak akan berubah “Hahaha, bisa juga punya calon, perasaan daridulu jomblo terus.”

                Tenang, Ayah, berkat bekal dari Ayah dan juga Ibu, aku bersosialisasi dengan baik, aku mempunyai banyak teman dan aku berhak juga akan calon imam yang baik dan bersama-sama membina rumah tangga yang harmonis. Ayah akan tetap jadi pahlawanku nomor satu, mungkin kita tidak akan serumah lagi, Ayah, ini begitu menyesakan dada. Namun Ayah mengajarkanku untuk tak menahan airmataku hari ini, namun berdiri tegak untuk hari esok.

Namun, kita memiliki koneksi yang kuat, aku tahu dalam hati Ayah, Ayah akan merasa kehilangan. Kehilangan yang lebih hebat dari melepas putrinya kuliah di luar kota, melepas putrinya untuk bekerja mengejar impiannya. Ayah, tak kusangka menulis hal seperti ini bisa mengeluarkan banyak air mata. Ayah, kembali ke waktu ini, terimakasih untuk selalu dan akan menerimaku apa adanya, karena begitulah seharusnya keluarga, bukan? Aku masih dalam tahap proses. Ayah, perjalananku masih begitu panjang. Masih banyak rintangan yang harus aku temui.

                Ayah, akupun terlalu malu untuk menyampaikan tulisan ini padamu, tapi sekali lagi, sebagai ayah dan anak, Ayah, pasti tahu.
Salam, Arini

***
                Gita menggigit bibir bawahnya dengan gemetar, menahan buliran-buliran air mata yang jatuh dari kedua matanya. Begitu hebat imajinasi sahabatnya, Arini dalam membayangkan menulis surat kepada seorang ayah. Yang Gita tahu, Arini adalah seorang yatim piatu yang tumbuh di panti asuhan, mendapat beasiswa karena otaknya yang encer yang dengan sialnya bertemu dengan dirinya, bahkan Gita menganggap dirinya tak pantas menjadi sahabat Arini. Selama 3 tahun kuliah bersama, Gita sudah sering datang ke kost Arini bahkan sebelum Arini pulang. Lalu kejadian itu.

“Git, lo kenapa?” tanya Arini, panik dan khawatir melihat sahabatnya menangis dan bahunya bergetar hebat.

“Sorry, barusan gue.. Baca catetan lo... Dan, gue nyesel.” ucap Gita terbata-bata.

                Membaca catatan Arini membuat Gita dengan berani mengambil sebuah keputusan. Keputusan yang mungkin akan mengubah segala sesuatu.

***

 “Bapak?” suara Gita hampir tercekat di tenggorokann.
“Ya, pulang sendiri, Nak? Bapak kan bisa jemput, kamu butuh apa nanti Bapak kirim?”
Gita langsung memeluk sang Ayah begitu erat, seakan tak mau melepasnya lagi, selamanya.
“Bapak, Gita minta maaf. Gita salah”
“Gita, Bapak nggak pernah nyalahin kamu, justru Bapak yang minta maaf. Bapak membiarkan Gita belajar sendiri, Bapak cuek.”
“Bapak, bolehkah Gita panggil Bapak?”
“Tentu saja, Gita bebas panggil siapa saja, Bapak, Daddy, Ayah, terserah Gita.”
“Gita ingin memulai kehidupan baru sebagai ayah dan anak, Gita ingin masa lalu juga hanya jadi masa lalu.”

                Sang Bapak tersenyum penuh arti, butuh sekian tahun agar dia benar-benar bisa menjadi seorang Bapak. Sebelumnya, hidupnya diliputi rasa bersalah, karena gagal menjadi peran ayah dan suami, telah menjadi ayah baru bagi, di ikuti tragedi kecelakaan yang membuat istrinya meninggal. Meninggalkan dirinya dengan Gita, yang belum bisa berdamai dengan dirinya.

                Setidaknya, itu dulu. Dan sekarang, setelah sekian lama, suasana rumah sore itu begitu hangat.

Dipublikasikan pertama kali di sastramu.com
Foto: Koleksi pribadi, diambil pada 23 Juli 2016, Alun-alun Purwokerto.

Tidak ada komentar

Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.