Aku tak pernah menyesali apapun keputusan
yang telah kuambil dalam hidup. Baik itu kesenangan, maupun kegagalan. Justru,
aku telah bersahabat karib dengan kegagalan, lama sekali. Sampai-sampai aku
terbiasa menghadapi hidup tanpa penyesalan—tanpa luka hati yang menumpuk
meminta dendam. Aku, tak lagi takut sepi dan apa-apa yang nestapa dalam hidup.
Dulu, aku ingin sekali mendapatkan
kesempatan-kesempatan menyenangkan seperti yang lainnya: waktu yang selalu pas
tanpa diusahan keras-keras lebih dahulu. Kemudian aku belajar untuk tak lagi
meminta maupun menyesali apa-apa yang telah lewat termasuk kesempatan bagus
yang terlewatkan.
Lebih melegakan memang, bahwa seringnya
definisi kebahagiaan adalah ketika kita tahu sedikit saja. Lebih melegakan,
ketika kau tak menghitung apapun. Langkahmu jadi terasa sangat bermakna
sependek apapun itu.
Namun, tetap saja. Jika aku diberikan
kesempatan untuk kembali ke masa lalu, aku tetap memiliki satu keinginan.
Pamit
secara baik-baik.
Pamit, pada mereka yang terpaksa aku
tinggalkan dalam keadaan sepi dan kosong tanpa penjelasan apapun. Pamit, pada
kata-kata tak tak pernah berani aku sampaikan sampai sekarang. Tak perlu
menunjukan banyak alasan mengapa, namun cukup pamit mengucapkan selamat
tinggal. Setidaknya mengurangi sedikit luka hati atas apa-apa yang tiba-tiba
hilang tanpa peringatan. Aku benci melihat manusia putus asa karena tak
memiliki pilihan namun karena di luar kuasanya sendiri.
Ternyata, meninggalkan saat kau sedang sangat
menyayangipun sesakit itu. Pun, dunia tak hanya berputar untuk diri sendiri.
Dan aku di sini, tanpa ada kesempatan itu,
sembari mengucap doa-doa baik: meminta Tuhan mengambil hati dan melapangkan
luka-luka yang telah lalu.
***
Ternyata, meninggalkan saat kau sedang sangat menyayangipun sesakit itu. Pun, dunia tak hanya berputar untuk diri sendiri.
BalasHapusDan kelak di masa depan yang panjang, akan ada masanya kita berdamai dengan sesal sesal yang pernah datang. Peluk jauh. Semoga menguatkan.