Judul Buku : Misteri Patung Garam
Penulis : Ruwi Meita
Editor : Sulung S. Hanum & Jia Effendie
Penyelaras aksara : Yuke Ratna P. & Idha Umamah
Penata letak : Wahyu Suwarni
Penyelaras akhir tata letak : Fajar Utami
Desainer sampul : Amanta Nathania
Penerbit : GagasMedia
ISBN : (10) 979-780-786-X
Jumlah halaman : vi+278 hlm
Harga : Rp 49.000,00
Genre : Misteri, Thriller
Sinopsis :
Dia sangat sadis. Dan,
dia masih berkeliaran.
Seorang pianis ditemukan mati, terduduk didepan pianonya,
dengan bibir terjahit. Bola matanya dirusak, meninggalkan lubang hitam yang
amat mengerikan. Rambut palsu merah panjang menutupi kepalanya. Sementara, otak
dan organ-organ tubuhnya telah dikeluarkan secara paksa.
Kulitnya memucat seputih garam. Bukan, bukan seputih garam.
Tapi, seluruh tubuh sang pianis itu benar-benar dilumuri adonan garam.
Kiri Lamari, penyidik kasus ini, terus-menerus dihantui
lubang hitam mata sang pianis. Mata yang seakan meminta pertolongan sambil
terus bertanya, kenapa aku mati? Mata yang mengingatkan Kiri Lamari akan mata
ibunya. Yang juga ia temukan tak bernyawa puluhan tahun lalu.
Garam. Kenapa garam?
Kiri Lamari belum menemukan jawabannya. Sementara mayat
tanpa organ yang dilumuri garam telah ditemukan kembali....
Dia sangat sadis. Dan,
dia masih berkeliaran.
***
“Namun, bukankah
sebenarnya setiap manusia memiliki kadar kegilaan dalam dirinya? Entah kecil
atau besar? Waras adalah semua kegilaan yang bisa dikontrol dan semua itu
memerlukan pegangan hidup.” (hlm. 148)
Well, suatu kehormatan bisa mendapatkan
satu eksemplar buku langsung dari penulis dan mendapatkan tanda tangannya lengkap dengan “Untuk Umi Marfa. Hidup seperti air sungai yang mengalir. Jika membentur batu selalu ada jalan memutar. Selamat membaca”. Untung nggak ada tambahan “Dari S”. Tapi, maaf Mbak Ruwi, telat review. Baik, diawali dengan lagu milik Oasis –
Don’t Look Back In Anger yang sering saya putar ketika SMP, saya menikmati
Misteri Patung Garam hingga halaman terakhir. Menggunakan sudut pandang ketiga,
jujur saja ketika membaca novel ini saya seperti menonton film, bukan hanya
terfokus pada Kiri Lamari, sang penyidik tetapi dari figuran-figuran seperti
Lia, Nono dan Hana. Walaupun sarat akan hal yang berhubungan dengan kepolisian,
novel ini nggak kaku,selain dari nama-nama tokoh yang unik, ada tokoh Pak Saut
yang jenaka, isengnya Ireng yang bikin geram dan juga bagian-bagian yang
membuat saya merinding.
Saya
suka sekali dengan novel yang memadukan kisah kehidupan dan pengetahuan.
Seperti yang didapat dari blog Mbak Ruwi novel ini terinspirasi dari cerita
istri Lot atau Luth yang akhirnya dipadukan secara ciamik, kentara sekali Mbak
Ruwi suka baca.
“Kata ibunya, setiap
orang yang menjegal langkahmu harus kamu lenyapkan. Tak harus membuatnya raib
dari muka bumi ini. Buat saja jiwanya hilang.” (hlm. 166)
Untuk
alurnya sendiri, baiklah. Kampret rebus! Saya nggak menyangka pelakunya adalah
si Anu, walaupun dari awal Anu sudah dikaitkan dengan terduga awal tetapi saya
mengira si Anu hanyalah figuran yang ternyata korban dan akhirnya menjadi sang
pembunuh. Twist dalam novel ini unik, seperti yang pernah ditulis Mbak Ruwi
dalam blognya, twist yang ada di novel ini ada clue tersendiri, jadi pembaca
nggak akan merasa dibohongi. Adanya lirik lagu Oasis – Don’t Look Back In Anger
ternyata juga memiliki keterkaitan, yap “Don’t Look Back” atau jangan menoleh
ke belakang, semuanya serba keterkaitan, sang penulis ini teliti sekali. Menurut saya, ada satu pesan tersirat dalam novel ini bagi calon orang tua, iya, mungkin pasangan boleh menjadi suami-istri, tetapi menjadi orang tua? Harus disiapkan dengan matang, jangan jadi orang tua jika nantinya menyakiti anak, bahkan membuat anak nggak bisa memilih jalan yang benar, karena beban yang ditanggungnya.
Namun,
walaupun novel ini mempunyai dua editor, masih ada hal yang luput, seperti kalimat
yang sumbang pada halaman 179 “Dari kejauhan, suaranya seperti bunyi geluduk
petir di kejauhan.” Dan tanda koma pada halaman 233 pada kata “Sebenarnya ,”.
“Seorang monster
memang lebih berumur panjang daripada malaikat. Monster lebih tahu cara mempertahankan
hidup, meski dibinasakan berkali-kali.” (hlm. 260)
Kemudian,
biasanya sinopsis akan berakhir seperti, “Apakah Kiri berhasil menangkap sang
pembunuh?” namun novel ini beda, terbukti saat di bab terakhir yang menggantung. Memang, saya
rasa kasus yang ditangani Kiri terlalu singkat jika hanya selesai dalam satu
buku, walaupun misteri sang pembunuh sendiri telah terkuak dan menimbulkan
pertanyaan seperti, “Kok bisa?” “Bagaimana?” . Walaupun sang pembunuh terkesan
sadis, karena saya lumayan sering membaca cerita creepypasta sang pembunuh masih termasuk golongan amatir,mungkin
selanjutnya lebih sadis. Kesan setelah merampungkan Misteri Patung Garam ini
adalah “Saya suka, saya butuh lebih banyak novel-novel “mikir” yang seperti ini,
saya akan menunggu sekuel Misteri Patung Garam dengan excited, saya penasaran dengan buku-buku karya Mbak Ruwi yang lain.
Saya tunggu loh, Mbak.
Write a comment
Posting Komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.