Udah
jadi rahasia umum jadi siswa kelas 12 selain awut-awutan mau ngelanjut kemana
juga mikir mau jadi apa besoknya agar jurusan kuliahnya sesuai, atau juga
tujuan lain bagi yang nyari kerja dulu, sambil nyari rupiah juga sambil mikir
kedepannya seperti apa. Ya, mulai mikir. Mikir. Mikir.
Kalo ngomongin cita-cita, kalo bawa ke taun-taun sebelumnya
kita pasti inget waktu kecil dengan lantangnya bicara “Dokter!”, “Pilot!”,
“Guru!” atau “Intel! Stiker laptop” atau “Calon imammu, kak!” dan semakin bertambahnya usia, apa yang dulu kita bicarain seringnya
berubah, entah karena dulu kita cuma pengin jadi profesi itu biar keliatan “keren”,
menemukan passion yang sesungguhnya
atau bahkan kita merasa “nggak layak” dapet profesi tersebut, sehingga
menghambat cita-cita, atau bisa juga dari kecil emang nggak mikir, asal ceplos.
Kaya saya.
Serius.
Dari kecil saya ternyata nggak punya cita-cita yang jelas,
pas ditanyain selalu jawab Guru, itupun karena ikut-ikutan. Pas SMP, pengin
jadi Dokter, lalu masuk SMK, ikut-ikutan jadi Pegawai Bank. Kuliah? Jadi
pasangan sahmu, Mz.
Ya, disisi lain ada yang bilang kita jadi bisa mencoba
banyak hal sih. Ngikut tweetnya
Sujiwo Tejo, orang yang nggak punya cita-cita itu hidupnya malah mendalam,
karena nggak punya dasar, nggak punya dogma, dalil, dll, lautnya tanpa dasar. Kaki
ini kadang lari, kadang juga berhenti sebentar, tapi yang jelas, kaki ini terus
berjalan, melangkah.
Lalu,
beberapa waktu yang lalu saya juga pernah posting, mungkin hanya beberapa yang
sudah mengalami yang bakal ngerti. Di mata kita, kebahagiaan selalu ada diatas
kepala orang lain hingga tak menyadari kita sudah mendapatkan semua yang kita
inginkan. Jadi, tergantung individu, masih melihat kebahagiaan itu dengan ikut
rasa bahagia atau malah bawaannya jengkel. Lupakan tentang jengkel, cobalah
untuk ikut berbahagia dengan apa yang membuat orang lain bahagia.
Ribet ya? Jadi gini, kadang, apa yang ‘sangat’ kita inginkan malah di dapet orang lain, apalagi kalo orang terdekat, sebel banget, pasti iya. Tapi itulah mengapa, agar kita ikut bahagia. Karena saya, kamu, itu satu, kebahagiaan itu sendiri melebur. Betapa lebih nyenengin kita denger kerabat kita dapet sesuatu yang mereka inginkan, lalu kita bawaanya pengin peluk sambil bilang “Gila lu tong bisa aja ye..”
Kaitannya
dengan cita-cita, mimpi atau tujuan?
Gini. Beberapa waktu lalu ketika Yessy main ke rumah saya
dan seperti biasa, kalo nggak ngobrak-abrik isi lemari atau tas ya numpang
tidur nemu kertas hasil lab tes urine saya, dan dia nanya “Mi, Marijuana itu
apa?”
Lalu beneran ada jeda hening...
HAH!
Padahal, Yessy itu baru aja diterima di STIKES Harapan Bangsa
Purwokerto , ngambil keperawatan. Lupakan tentang diterima di STIKES, nama
Marijuana pasti nggak asing di telinga kita. Entahlah, Yessy mah apa atuh.
Dan
setelah saya menjelaskan sedikit tentang Marijuana, ya nggak tepat-tepat amat
sih, pokoknya Narkoba dan Zat Adiktif dkk, lalu Yessy nyeletuk “Kita ini lucu
ya, jurusannya Akuntansi, aku akhirnya ke kesehatan, kamu nyastra. Lebih lucu
lagi, dari SMP aku nggak pernah ikut PMR, kamu yang SMP, SMK ikut PMR malah nggak
ke bidang kesehatan.”
Dan saya jadi inget cita-cita saya sewaktu SMP, penginnya
jadi Dokter, atau setidaknya kerja di Rumah Sakit, pengin banget sampai nggak
kepingin lagi. Dan akhirnya keinginan ini bakal terwujud sama Yessy, yang
tujuannya udah jelas, jadi perawat,nggak kaya saya, mayan, kalo sakit
tinggal bilang dia, kudu gratis. Haha.
Memang,
Tuhan nggak pernah keliru ngasih rejeki, emangnya sinetron. Apa yang kita
inginkan nggak selalu kita dapatkan, tapi bisa terwujud dengan orang-orang
terdekat yang ‘spesial’ atau yang kita percaya, dalam artian, kita akan ikut
bahagia dengan mimpinya, karena mimpinya adalah mimpi kita juga. Karena kebahagiaan memang seharusnya dibagi, ada kata bagi dalam kata bahagia atau kebahagiaan itu sendiri.
So, full of plans or full of surprises? :)
Write a comment
Posting Komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.