Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Pada
suatu masa, ada perempuan muda mencari arti dan tujuan dari pernikahan. Hal tersebut tentu saja wajar
karena dirinya sudah
memasuki kepala dua. Dia kemudian bertanya kepada kawan-kawannya dan segera
jawaban-jawaban itu dia simpan:
Untuk
meneruskan keturunan
Untuk
melengkapi ibadah
Dijodohkan,
atau utusan orang tua
Tiga
jawaban sudah dia
dapat, merasa belum puas kemudian dia menyelam ke rumah kepulangannya di
tempat Bapak dan Ibunya membangun rumah tangga. Karena, mana lagi arti dari
pernikahan yang akan dia ketahui jika bukan dari orang terdekat?
Dia
menyalami tangan Ibunya dahulu, kemudian Bapaknya. Dia menyelam dan terus
menyelam pada masa-masa keluarga kecil ini, pada saat dia kecil, hingga remaja.
Sayangnya, dia telah lupa. Semakin dia menyelam, justru semakin banyak luka
yang dia dapat.
Benar,
luka. Rumah kepulangannya adalah luka. Dari tempat dan tatanannya bisa saja
berubah, namun memori tentang luka tak akan pindah. Terngiang-ngiang dan
melayang-layang di sana. Terpatri, menunggu dengan setia setiap kali pulang.
Ibunya
selalu memberi catatan lisan
akan pentingnya memilih lelaki yang akan dipilih untuk menghabiskan waktu hidup
bersama. Tentang bagaimana imannya, akhlaknya, namun juga tak lupa bagaimana
dia bertanggung jawab akan istrinya dan anak-anaknya. Barang tersebut tentu
saja tanpa alasan, pernikahan berusia dua puluh tahun itu, rasa-rasanya tanpa
cinta. Tentang bagaimana sang Bapak seringnya terlampau bersikap dingin, dan
tentang istri yang akhirnya berusaha
sendiri untuk membahagiakan dirinya.
Mereka seakan dua kutub yang berlawanan, saling tolak menolak dalam naungan
atap bersama. Hal itu, perempuan rasa wajar-wajar saja dalam pernikahan.
Dirinya
telah melihat banyak dari temannya menjadi korban perceraian. Tunggu, kata sebelum titik itu terlalu tajam, terlalu
menyayat raga. Mari diganti dengan kata “hal-tidak-menyenangkan-dan-juga-menyebalkan”.
Mereka, yang menyaksikan “hal-tidak-menyenangkan-dan-juga-menyebalkan” mungkin
bisa menutupinya, dengan senyuman atau gelak tawa. Namun, mereka kesepian,
butuh kasih sayang, butuh dicintai secara utuh. Bagaimana bisa, atau memang di
dunia yang penuh kemungkinan ini ada yang dinamakain perpisahan kala sudah
mengucap janji yang kudus. Mengapa Tuhan membiarkan beberapa orang dewasa
justru menemukan cinta sejatinya setelah menikah?
Perempuan itu yakin sesuai kata dalam bahasa Jawa, pasangan suami istri
akan lebih satu dengan nama garwa atau
sigaraning nyawa—belahan jiwa. Namun
bagaimana bila dalam rumah itu dia merasakan retak dalam ikatan. Cinta
seharusnya membangun, dan hidup terlalu singkat dalam cinta yang salah. Perempuan
itu lara, tentu saja. Bagaimana tidak? Melihat sepasang kekasih yang tak satu
tujuan, tak satu jalan namun keduanya tetap diam di satu tempat. Komunikasipun
tiada menghasilkan suatu putusan. Seperti menyaksikan keindahan yang layu, tak
harmonis.
Dalam suatu ajang diskusi yang pernah dia ikuti, sang pemimpin melontarkan pertanyaan
acak padanya:
“Kau, percaya cinta?”
“Saya
percaya.”
“Lalu,
bagaimana kalo kau kekurangan cinta?”
“Tak
apa-apa.”
“Kok bisa?”
“Tak semua
di dunia ini tentang cinta, kan?”
“Kau salah, semua yang ada di dunia ini adalah cinta. Coba kau lihat sendiri.”
“Kau salah, semua yang ada di dunia ini adalah cinta. Coba kau lihat sendiri.”
Benar juga, pikir perempuan tersebut. Di dunia ini, mungkin saja tak semua
orang tak dapat merasakan kedamaian, atau ketenangan. Namun semua orang berhak
merasakan cinta, merasa bahagia. Dia juga bahagia, baik Ibu dan Bapaknya
menyayangi dirinya dengan baik. Doanya pada mereka, adalah agar mereka bahagia.
Perempuan yang berdoa itu menjelma menjadi
aku.
Surat, harapan, dan cintaku,
Teruntuk
Bapak dan Ibu, Malaikatku.
Tidak ada komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.