Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
“Kaka.. Ini mama fotoin canting sama kain batiknya ya. Mau ditaruh di Facebook.”
Ada yang berbeda dengan liburan Idulfitri tahun ini, yaitu ramainya
unggahan foto di media sosial bernama Facebook, dan ibu saya turut andil dalam
perubahan ini. Menjamurnya alat komunikasi bernama Android membuat banyaknya
akun-akun Facebook masyarakat. Mudah dibuat walaupun hanya menggunakan smartphone, dan saya merasa menjadi
warga kebalikan. Para ibu-ibu dan bapak-bapak yang dulunya hanya memakai ponsel
Nokia atau Motorola dengan aneka bentuk itu justru nggak merasakan betapa epicnya masa-masa pulang sekolah SMP langsung
ngacir ke warnet. Kadang juga harus
mengantri sampai satu jam hanya untuk membuka akun Facebook, mengganti foto
profil dengan gambar Doraemon atau Naruto, atau hanya membom like status orang-orang. Dahulu, hal
tersebut menjadi hal yang sangat membahagiakan bagi saya.
Saya pun, setelah ditambahkan oleh Bapak dan Ibu saya kemudian ditambah
saudara-saudara dan para tetangga. Saya kira hanya sebatas iseng pada akun
Facebook hanya untuk melihat akun Mario Teguh, Felix Siauw, akun-akun dakwah
atau resep masakan, namun masyarakat di grumbul
saya sudah memiliki grup WhatsApp dan grup Facebook sendiri. Grup-grup itu sendiri
seakan menjadi pemersatu untuk ngobrol online,
dari kirim foto makanan, cerita horor karena dibonceng hantu wanita lalu
menghilang, info cegatan dan tilangan, info jual beli hingga info orang hilang.
Semua disajikan dengan, tentunya bahasa ngapak Banyumasan yang renyah dan
menimbulkan gelak tawa sendiri saat membaca komentar yang bisa sampai ratusan
tersebut. Bahkan, salah satu anggota mengirim perkenalan dan rasa terima kasih
karena grup tersebut seakan menyembuhkan rasa rindunya terhadap Tanah Banyumas.
Saya sebagai anak bahasa, sudah sepatutnya mengucapkan terima kasih teramat
banyak pada Mark Zuckerberg karena melalui grup ini, bahasa ngapak tak akan
punah.
sumber tertera |
Beralih ke beranda Facebook, sepanjang menggulir layar saya seakan dibawa
ke buku-buku sastra karya Pramoedya Ananta Toer dan Ahmad Tohari. Potret
masyarakat menengah ke bawah beberapa kali saya tangkap dengan mengeluhnya
ibu-ibu muda karena ditinggal kerja suaminya selama berhari-hari sementara
butuh susu formula, lalu beberapa menit kemudian swafoto dirinya, kadang juga
kata-kata mesra ala remaja, main saat sore ke alun-alun, juga terkadang masalah
kecil rumah tangga yang dipublikasikan di akun Facebook. Kalau dalam
novel-novel, sudah pasti para tetangga yang akan menggosip tentang mereka, pun
di Facebook, saya yakin ada suara-suara diam yang tentunya ikut berkomentar
dalam masalah-masalah kehidupan mereka.
Jangan harap menemukan status dengan tulisan yang rapi, foto dengan
resolusi, pencahayaan dan angle yang
tepat. Fenomena ibu-ibu ini layaknya seniman dengan acaknya mewarnai timeline mereka, seakan menjadi salah
satu hal pelepas lelah dalam peliknya kehidupan mereka. Namun, ada salah satu
yang menarik dari sini. Saya mempunyai satu teman yang sekarang sudah memiliki
dua buah hati. Dia yang hanya lulusan SMP mungkin kurang tau isu-isu sosial
maupun dunia, tak tahu apa yang sedang di demo mahasiswa atau organisasi
masyarakat yang kemudian fotonya diunggah ke Instagram hanya untuk kelihatan
aktivis dan sangat peduli. Dia, seperti kebanyakan perempuan di sini yang
menunggu tiap harinya suaminya pulang dari kerja serabutan sembari mengasuh
anaknya. Pemandangan kebanyakan seperti ini mungkin akan terlihat kurang produktif
bagi sebagian orang, mereka tahu apa? Make
up aja seadanya tanpa memperhatikan kontur wajah.
Namun, dia atau sebut saja sebagai Mia di sela-sela sibuknya membina rumah
tangga kecilnya masih memiliki kesenangan akan mengikuti pagelaran kuda kepang,
atau yang biasa dikenal dengan kuda lumping maupun ebeg. Pementasan ebeg dalam
kelompok itu biasa dipentaskan dari desa satu dan desa lainnya. Di usia yang
masih dua puluh tahun, Mia mengikutinya besama teman-teman perempuannya yang
lain. Mia sebagai ibu juga tak melupakan anaknya, dia menitipkan pada ibunya
barang sejenak. Mia memang masih muda, garis hidupnya yang membuatnya menikah
muda menjadikan semangat akan “dolan”nya
masih meneggebu-ngebu. Mia bukan hanya menari-nari kecil, namun juga berani “mendem” atau kerasukan roh halus demi
memparipurnakan pementasan tersebut. Jika ini adegan sebuah novel, tentu saja
mungkin akan ada pemuda dari desa lain yang jatuh cinta dengan Mia yang tomboi,
tak peduli bahwa Mia sudah memiliki keluarga kecil. Feeds Facebook Mia juga lebih berwarna dari hanya sekadar
kesehariannya, namun juga melestarikan seni dan budaya tanpa diminta yang menurutnya
justru kesenangannya.
Mia, hanyalah potret kecil dari rakyat desa, yang tak mengerti simbol, tak
jua mengerti apa itu feminisme serta gerakan-gerakannya, yang tak mengerti
tatanan masyarakat maupun dirinya. Namun, Mia adalah Mia, bukan tokoh fiksi,
benar-benar dirinya sendiri di saat dunia terlalu banyak topeng-topeng.
***
Tidak ada komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.