Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Tulisan
ini tak akan datang dari seorang anak yang memiliki begitu banyak pertanyaan
dengan detail, sampai bagian-bagian kecil. Sebagai anak yang menginjak usia 21
dan lebih banyak tinggal di asrama dalam satu tahun, tentunya banyak hal yang
didapat. Dari perjalanan mencari berbagai jawaban tersebut, sang anak hanya
ingin belajar satu hal: kemandirian. Mandiri ingin dapat tak bergantung pada
orangtua, mandiri membangun dirinya sendiri, mandiri akan banyak hal. Sampai
pada sang anak pulang ke tempat di mana ia dilahirkan dan tumbuh untuk beberapa
waktu.
Bulan
Ramadan lalu yang sayangnya tak saya temukan atmosfirnya yang menenangkan,
justu saya temukan saat-saat libur menjelang lebaran. Selalu, saat pertama pulang
hal pertama yang saya inginkan adalah tak berada di sana, entah tekanan karena
harus menjadi apa, mindset beberapa
masyarakat yang sulit diubah, dan keterbatasan-keterbatasan ruang dan gerak yang
lain. Namun ketika pulang, ingatan saya selalu berhenti pada sudut-sudut ruang.
Sudut-sudut
itu adalah papan kayu yang menjelma tumpukan batu bata, kompor minyak dan
tungku yang menjadi kompor gas, selang-selang air yang menjelma pompa, dan air
dingin dari kendi menjelma ke air kulkas. Bukan hanya hal tersebut namun juga
ingatan terakhir menggunakan kamar dalam waktu yang lama, adalah tiga tahunan
lalu saat masih berusia sekolah. Ketika melihat ke sekitarpun, segalanya tampak
berubah, seperti anak-anak kecil yang sudah remaja. Atau hal-hal remeh seperti
perubahan wajah orangtua, dan beberapa gigi bapak yang tanggal.
Ingatan
berlanjut ke masa-masa bapak mengajari saya mengendarai sepeda motor, melewati
jalan-jalan batas antar kecamatan bahkan kabupaten. Bimbingan, arahan membuat
saya teringat pada masa-masa bapak mengajari saya naik sepeda kala SD. Ajaran
yang membuat saya mengenal jalan-jalan dan asyiknya menjelajah. Ketika sedang
bersama, saya suka bertanya-tanya bagaimanakah perasaan bapak memiliki dua anak
perempuan. Bagaimana rasanya jika memiliki satu saja anak laki-laki, bagaimana
dahulu memilih ibu sebagai pendamping, dan bagaimana menjalani kehidupan rumah
tangga.
Pernikahan,
adalah hal lain yang saya belajar tiga minggu ini. Ternyata benar, umur kepala
dua mulai dapat banyak sekali undangan. Saya salut pada mental mereka yang
sudah matang, sedangkan saya hampir tak berubah dari masa sekolah. Tak apa,
semua punya pilihan masing-masing. Bagaimana rasa orangtua yang melepaskan sang
anak perempuan untuk ngabdi pada sang
suami? Ah, rumit sekali ya pertanyaan-pertanyaan dari atas. Dalam rumah ini,
saya juga mengambil contoh yang dapat dipetik dari pernikahan dan kehidupan rumah
tangga. Bukan hanya tentang, rumah.
Pernikahan
dan rumah tangga adalah tentang kesiapan yang benar-benar siap dalam segala
hal. Saya tak tahu pasti, namun beberapa yang pernah saya temui adalah kesiapan
membangun hubungan antar satu sama lain, hubungan keluarga, bahkan masyarakat.
Kesiapan membangun diri pada perempuan juga sangat penting karena sekarang tak
lagi saatnya bergantung penuh pada suami. Kemudian komunikasi yang baik adalah
kunci, dan juga tentang menomorsekiankan ego. Pada hal-hal ini, rasa takut
nanti ada, takut tak menjadi diri sendiri atau kehilangan diri sendiri.
Saya
bangga, kagum, dan sangat bangga pada kedua orangtua saya. Keduanya adalah
anugrah Tuhan yang begitu hebat. Bangga akan bagaimana masing-masing berkembang
dan tak menyerah pada keadaan. Bangga akan ibu yang selalu optimis dan penuh
ide, bangga akan bapak yang sabar dan senang melayani masyarakat. Mereka berdua
tak punya gelar, bukan juga orang-orang yang sering meeting di bawah dinginnya AC, namun mereka adalah bagian dari masyarakat
yang tahu bagaimana menempatkan diri.
Banyak
hal terjadi juga antara hubungan orangtua dan anak, seperti berbeda pemikiran
pada umumnya. Namun ternyata sejauh-jauh anak melangkah, jawaban dan tempat
pulang tetap pada orangtua mereka. Saya memang selamanya ingin menjadi seorang
anak dari mereka, ngabdi dan selalu
menebar kebaikan tanpa karena embel-embel imbalan mungkin hal sebaik-baiknya
bentuk penghormatan bagi orangtua. Kemudian juga pandai menjaga dan menahan
diri jika sedang tak dalam jangkauan. Hal-hal seperti ini yang sudah diajarkan
sedari kecil, namun hanya sebatas melintas dan menunggu untuk mendapatkan
jawaban sendiri. Jika saya diperbolehkan memilih, saya ingin bersama mereka
dalam kehidupan selanjutnya atau kehidupan-kehidupan lain selain ini.
Dari
mereka, saya mengerti bahwa cinta itu ada. Maturnuwun,
Gusti.
Tidak ada komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.