Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Hari esok, dua kata yang
memberikan kesan masih ada harapan dan kesempatan untuk menilik ulang
pilihan-pilihan dalam hidup. Namun bagaimana jika kita tak memiliki negara,
apakah bahkan masih memiliki pilihan?
Ada satu bagian film garapan
Mohammad Fikri ini yang mengingatkan saya saat Kuliah Kerja Nyata, yaitu saat
mengajar siswa SD. Di sisi lain takjub akan keantusiasan mereka mengikuti
kegiatan belajar meskipun baru satu dua kali berkunjung, namun di sisi lain
juga “takjub” bahwa celetukan siswa SD yang diajar sama setelah memaparkan
materi—sama-sama belum paham padahal dijelaskan dengan cara yang sangat
sederhana.
Aku dan Hari Esok yang saya tonton di TVRI Nasional pada Rabu
kemarin (26/08), mempertemukan dua tokoh utama; Yudis dan Seba dalam isu
pendidikan di Indonesia yang belum tuntas. Yudis, seorang guru honorer Sekolah
Dasar yang ditempatkan di kawasan 3T tepatnya di Pulau Sebatik, dan
Seba—seorang anak yang mencintai ilmu pengetahuan namun tanpa status
kewarganegaraan yang jelas karena geografisnya berada di perbatasan antara
Indonesia dan Malaysia. Sedangkan orangtua Seba sendiri merupakan buruh sawit
perbatasan yang selalu berpindah tempat jika telah diketahui orang.
Mereka dipertemukan pertama kali
melalui papan mading sekolah dalam soal matematika pecahan. Bagi Seba sendiri
dan 2 orang lainnya, sekolah tempat Yudis mengajar adalah tempat bermain,
benar-benar bermain dalam artian datang melihat-lihat secara sembunyi-sembunyi
dan pulang atau kembali bermain di tempat lain. Singkat cerita, Seba
mendapatkan kesempatan bersekolah dengan tinggal di rumah Yudis karena lokasinya
jauh dari rumah.
Tak ada bagian heroik yang
ditampilkan secara meledak-ledak dalam film ini, kecuali hanya saat Yudis
begitu peduli pada satu anak untuk bisa bersekolah. Meskipun akting beberapa
pemain masih terlihat kaku dan kurang natural, saya terhibur dengan tingkah
tiga sekawan Seba, Andi, dan Markus. Kendala sinyal yang ditampilkan di daerah
perbatasan tersebut juga mengingatkan saya pada masa belum ramai menggunakan
gawai dulu. Kemudian hal menarik terakhir menurut saya dalam film ini adalah
ketika siswa SD membeli jajan menggunakan uang ringgit, dengan memakai seragam
merah putih.
Pada akhir film pun tak
memberikan cerita bahwa pada akhirnya sekolah tersebut menjadi maju, Seba
menjadi orang dewasa muda yang sukses dan mengabdi pada desa tersebut, maupun
kesempatan yang lebih layak lainnya—atau belum. Masih merupakan keseharian yang
ditampilkan dan membuat saya bertanya; rencana apa selanjutnya dengan segala
keterbatasan. Masih merupakan jalan panjang di depan mata bahwa tak bisa berpura-pura,
ada anak-anak yang jangan sampai dianaktirikan negara.
Aku dan Hari Esok, bukan hanya menampilkan visual Seba yang
membutuhkan pendidikan, namun juga kesejahteraan pengajar atau guru. Mengajar
di perbatasan tentu saja harus memiliki cara dan pendekatan yang berbeda dengan
yang bukan di perbatasan. Dengan usaha yang lebih kerasa tersebut, tenaga
pengajar tersebut seharusnya mendapat honor yang cukup untuk keberlangsungan
hidup. Dalam film tersebut bahkan, Yudis berhutang buku-buku penunjang wawasan
dirinya sebagai guru sementara keadaan istri sedang hamil tua. Suatu perubahan
memang membutuhkan kepedulian dan keberanian, yang dalam film ini sudah
terwakili oleh tokoh Yudis. Namun, keberanian dan kepedulian seharusnya tidak bekerja sendirian.
Masih banyak banget ya PR Indonesia di dunia pendidikan... Nyesek liatnya...
BalasHapusIni dia nih masalah klasik pendidikan di negeri ini, semoga segera bisa di perbaiki dan Indonesia makin maju
BalasHapusWah, saya kelewat nonton film Aku dan Hari Esok, Mbak Marfa. Hanya memang Mbak, tinggal di daerah perbatasan itu, banyak sekali kendala yang dihadapi. Termasuk prajurit yang menjaga perbatasan. jauhnya dari pusat pemerintahan, pastinya kurang di sana sini.
BalasHapusJadi semoga ke depannya, semakin di perhartikan sarana, agar kesejahteraan dirasakan semuanya.
Karena mereka pun rakyat Indonesia.
Bagus ya filmnya. Masih bisa dicari nggak ya. Memang pendidikan di Indonesia khususnya di area pedalaman dan perbatasan masih banyak PR. Semoga esok semakin baik lagi.
BalasHapusAku baru baca aja sudah membayangkan adegannya sepilu apa
BalasHapusSoalnya aku dulu anak dari guru yang serba terbatas juga
film ini sangat bagus apabila bisa jadi kenyataan dalam kehidupan kita, sosok yg semangat baik guru dan murid ingin belajar walaupun di pedalaman atau di perbatasan. Semoga hari esok akan semakin baik
BalasHapussetelah film tilik aku jadi penasaran dg banyak film produksi lokal non box office
BalasHapuskayaknya aku dan hari esok juga layak tonton nih
Wah kelewat kak nonton nya, sy jarang bgt ntn tvri..
BalasHapusTVRI disini sinyalnya kurang, jadi rucek' gmna gitu.
Tapi dari film nya menarik, coba deh sy cari streaming nya.
Siapa tau ada yg upload.
Saya jadi penasaran sama film "Aku dan Hari Esok". Boleh juga ini dijadikan list nonton next film.
BalasHapusSuka dengan kalimat penutupnya. keberanian dan kepedulian seharusnya tidak bekerja sendirian.
BalasHapusBaca ini jadi ingat juga pengalaman jadi guru honorer yang yaah masih dipandang sebelah mata padahal tugas ngajarnya juga sama aja dengan yang udah terangkat jadi ASN. Tentunya kesejahteraan guru Honorer juga masih perlu dipertanyakan?
Langsung ingin nonton TVRI lagi nih, nyari streamingnya aja deh siapatau masih ada yah
BalasHapusbetul banget nih, Pendidikan Anak di daerah perbatasan juga harus diperhatikan nih.
BalasHapussedih banget ya kalau kewarganegaraan yang tak jelas seperti ini, tapi begitulah ya nyatanya.
semoga saja ada jalan terbaik diambil oleh Pemerintah.
Terima Kasih Mbak Marfa sudah review film saya Aku dan Hari Esok, film ini sederhana dan pendekatannya film ini lebih kepada hasil riset saya tentang pendidikan Indonesia di daerah perbatasan,...Saya Mohammad Fikri Sutradaranya
BalasHapus