Lebih Senyap Dari Bisikan: Sereceh Jokes Twitter, Sesedih Drama Korea

Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Mari kita memulai postingan ini dengan, hadeeeeh. Tak lain dan tak bukan karena, buku ini sudah ada di tangan saya sejak Juni lalu dan draft juga sudah ada sejak Agustus. Menulis sedikit ulasan ini baru tergerak lagi ketika melihat buku Lebih Senyap dari Bisikan masuk nominasi Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021.

lebih senyap dari bisikan


Intermeso dikit, saya 'berkenalan' dengan penulis Andina Dwi Fatma melalui cuitan dari Dea Anugrah. Dari sana, saya juga mengetahui karya pertama Andina dengan judul Semusim dan Semusim Lagi yang malah belum saya baca sampai sekarang setelah membeli secondhand secara online. Mengikutilah proses buku ini dari pemilihan kover sampai PO, plus ada surat dengan tulisan yang indah sekali. ((Alhamdulillah dapet cashback 20rb--info penting)). 

Judul postingan ini adalah kesan pertama tepat setelah pembacaan pertama saya akan Lebih Senyap dari Bisikan. Momennya tepat ketika saya sedang gandrung mengikuti linimasa Twitter dan meme shitposting bertebaran. Buku ini dibawakan oleh tokoh utama Amara, menceritakan pengalamannya sebagai seorang perempuan bertransformasi menjadi seorang Ibu.

Yang tentunya pelik.

Tokoh Amara menikah dengan Baron, pacar semasa kuliahnya dan menjalani kehidupan pernikahan yang menyenangkan dari kehendaknya sendiri. Lima tahun berjalan, pertanyaan mengenai anak terus ditanyakan dan juga menjadi petanyaan bagi keduanya. Usaha-usahapun kemudian dilakukan, yang ternyata menjadi struggle mereka sendiri karena tak selancar itu.

"Ada hal yang tidak diberitahukan orang kepadamu tentang menjadi orangtua: kau akan merasakan kegembiraan luar biasa, rasa cinta yang tidak dapat dibandingkan dengan apa pun juga, tapi pada saat yang sama, dirimu menjadi rentan. Seluruh eksistensimu bukan lagi milikmu sendiri... Kau mencoba melakukan segalanya dengan benar tapi kau bakal sering gagal." (hlm 58)

Pertanyaan mengenai anak ini seakan memberi hints pada pertanyaan yang sering berputar di kepala. Lama-lama pertemanan mulai menipis seiring urusan pekerjaan, menikah, dan kemudian memiliki anak. Seperti sedikit lucu pada akhirnya nanti manusia yang dulunya bertemu, berkawan, kemudian terbagi menjadi hidup sendiri-sendiri dengan keluarga kecil. Hal serupa ini yang sempat juga dialami Amara dan Baron, interaksi menjadi kian sempit dan tak sebebas ketika masa lebih muda.

Usaha Amara dan Baron kemudian membuahkan hasil dan Amara mengandung. Perjalanan sebagai calon Ayah dan Ibu segera dimulai, namun ternyata mereka mendapat permasalahan. Bukan hanya status baru, namun permasalahan lain yang akan menjadi pengaruh terhadap keseluruhan cerita selanjutnya. 

Alur buku ini campuran dengan maju dan mundur, dari pertemuan Amara dengan Baron, sedikit menyinggung hubungan Amara dengan ibunya di awal cerita, dan kejadian-kejadian di depannya. Selebihnya cerita saya tak ingin membeberkan lebih banyak karena buku ini bagi saya, menyenangkan sekali.

Tokoh Amara mengingatkan saya akan tokoh-tokoh perempuan beserta pertentangan dan keberaniannya dalam mengambil pilihannya sendiri. Namun di sini penulis memberikan formula berbeda dan baru dengan pas; tidak menggebu-gebu, dan tetap kebingungan. Pembaca akan dibawa bagaimana seorang perempuan akan pengalaman tubuh dan pikirannya yang tak dialami laki-laki, terutama saat perubahan ini. Hal yang sering dikatakan biasa, normal, kodratpadahal jauh lebih kompleks. Tentang identitas perempuan yang banyak; perempuan, istri, ibu, menantu, bagian dari masyarakat.

Kehidupan pernikahan dan mempunyai anak tuh, tak seindah foto-foto di media sosial. Pernikahan artinya berbagi ruang privat meliputi pikiran, rasa aman, tubuh, cita-cita yang sebelumnya tak ada. Proses melahirkan dan menyusui juga lebih melelahkan dari pada yang dibayangkan. Kehidupan ini betul pembelajaran seumur hidup, proses kelahiran manusia baru dan kelahiran babak bagi Ayah dan Ibunya.

Secara personal, saya sedikit takut jika buku-buku dengan tema perempuan seperti ini hampir selalu berakhir tragis. Namun big thanks untuk penulis karena menyajikan happy ending dengan hangat dan apik, tak terkesan wagu atau dipaksakan. Oh iya, mengenai happy ending sendiri sudah dimention penulisnya dalam suatu webinar sebagai saran untuk calon pembaca ya, jadi bukan berniat spoiler di sini. 

"Separuh diriku kaget karena suster memperlakukan payudaraku seperti lilin mainan, dan separuhnya lagi karena kukira menyusui bayi akan semudah jargon iklan sosis: tinggal lheeb." (hlm. 57)

Meskipun diajak tertawa, air mata saya menetes di beberapa bagian di buku ini dan seakan rasanya ikut pedih di hati. Momen inilah yang membuat saya ingat ketika menonton scene sedih di drama atau film korea (makanya judul postingannya jadi gitu). Saya turut dibawa akan keputusaan Amara, namun juga merasakan kasih sayang dari Mami Amara. Buku yang cukup mengaduk perasaan dengan perlahan dan tetap tenang.

Yang paling saya senangi dari buku ini adalah lawakan-lawakannya, segar sekali seperti diajak menertawakan hidup dan sekitar. Poin lainnya adalah bagaimana penulis menyajikan dua hal yang kontras justru secara beriringan, bukan pertentangan secara hitam dan putih seperti kebanyakan. Seperti terkadang kita ingin lepas dari sesuatu, namun sebetulnya tak sepenuhnya terlepas bahkan untuk suara sendiri.

Andina Dwifatma Lebih Senyap dari Bisikan
Bagian favorit dalam surat buku.

Buku ini termasuk tipis, namun porsinya pasini juga yang menggerakkan saya untuk membaca dari sekian timbunan buku. Buku ini bahkan tidak menggurui, namun pembaca jelas dapat mengambil apa dari pengalaman tokoh tanpa harus mengalami. Cocok untuk perempuan yang masih lajang, calon istri dan calon suami, atau ya yang sedang memiliki hubungan dan akan mengarah ke pernikahan. Buku ini juga lahir mengimbangi bahasan di media sosial beberapa bulan lalu seperti topik childfree atau laki-laki baru.

Setidaknya, ada beberapa poin penting yang saya dapatkan dari sini, yaitu:

  • Pentingnya melakukan konseling pernikahan sebelum menikah. Saya rasa meskipun sudah diskusi dua arah, ada kalanya perlu pihak ketiga yang membantu melihat celah-celah kecil yang terlewati.
  • Pentingnya dukungan kesehatan mental untuk Ibu dengan newborn baby, mulai dari suami dan keluarga terdekat.
  • Rajin mengecek ulang pikiran, apakah masih relevan atau sudah sebaiknya mulai disesuaikan dengan kondisi. Bukan artian pasrah namun mengganti strategi dengan yang lebih baik. Ini konteksnya saat single vs ketika sudah mengalami kehidupan pernikahan ya. Jangan hanya dipikirkan juga, namun perlu pencatatan.
  • Pentingnya keterbukaan akan finansial, jangan gegabah mengambil apa yang menurut diri baik tanpa didiskusikan dengan suami atau istri. 
  • Perhatikan red flag sebelum bucin ya, besties.
***

Judul: Lebih Senyap Dari Bisikan | Penulis: Andina Dwifatma | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Editor: Teguh Afandi | Desain Sampul: Leopold Adi Surya | Desain Isi: Ayu Lestari | Jumlah halaman: 155 | ISBN: 978-602-06-5421-8

Rekomendasi review lain mengenai Lebih Senyap Dari Bisikan:

Tidak ada komentar

Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.