Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Rabu terakhir di bulan Maret lalu, saya mengikuti siaran langsung dari YouTube KBR yang bertajuk Lawan Stigma untuk Dunia yang Setara. Sembari menunggu acara dimulai, ingatan samar-samar beranjak ke beberapa tahun silam saat masih sekolah dan mengikuti semacam seminar.
Temanya kala itu tentang narkoba dan HIV/AIDS, kemudian ada salah satu pembicara menawarkan siapa saja dari peserta yang mau maju untuk bersalaman dan memeluk ODHA. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa rekan-rekan yang dihadirkan di sana telah melalui rehabilitasi dan menjalani pengobatan, pun HIV/AIDS tak akan menular hanya karena bersentuhan kulit atau berdekatan. Satu, dua, tiga peserta menunjuk tangan kemudian sama-sama maju untuk berjabat tangan. Dari sana saya jadi tahu, batas kami sebetulnya tipis sekali.
Begitu juga dengan hidup, manusia menjalani sehari-harinya pasti bertemu dengan ragam manusia lain. Berbeda suku, agama, warna kulit, asal daerah, hal tersebut sudah bukan lagi hal yang terkotak-kotakan dan hidup berdampingan. Namun bagaimana dengan cara pandang terhadap penyandang disabilitas? Meski tahu bahwa sekarang sudah mulai banyak fasilitas publik dan sektor pekerjaan yang ramah disabilitas, apakah pandangan terhadap perbedaan ini masih terdapat stigma?
Tak perlu jauh-jauh, berawal dari pengalaman diri sendiri yang dalam pikiran sudah membekali dengan jangan membawa stigma-stigma lama. Hal tersebut karena sudah terlalu lama namun masih berjalan hingga kini bahwa penyandang disabilitas masih mengalami stigma dan diskriminasi. Penyebab dari diskriminasi ini terjadi karena berbagai faktor, salah satunya seperti pemahaman yang keliru hingga penyandang disabilitas tak mendapatkan kesempatan yang sama dengan masyarakat non disabilitas.
Namun dalam keadaan bersinggungan langsung masih terpikirkan, bagaimana sikap dan perilaku diri sendiri ini? Apakah sudah benar, apakah tidak membuat tersinggung? Dari sana saya jadi paham bahwa diri sendiri yang perlu banyak main dan berkenalan mengenai hal ini.
Kembali ke topik tadi, acara yang dipandu oleh Ines Nirmala ini menghadirkan dr. Oom Komariah, M. Kes - Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) yang berbagi mengenai down syndrome dan Uswatun Khasanah (Orang yang Pernah Mengalami Kusta/OYPMK) yang menceritakan pengalamannya terhadap penyakit kusta.
Apa Itu Penyakit Kusta?
Kak Uswah berbagi pengalamannya mengenai penyakit kusta basah yang dialaminya ini pada usia 14 tahun. Penyakit kusta sendiri menyerang sistem syaraf kulit oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit kusta sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu kusta kering dan kusta basah. Untuk kusta kering pengobatannya lebih pendek yaitu 6 bulan, sedangkan untuk kusta basah pengobatan mencapai 12 bulan atau satu tahun.
Perbedaan kusta kering dan kusta basah ini terdapat pada jumlah bercak yang ada. Untuk kusta kering, bercaknya terdiri kurang dari lima sedangkan yang basah lebih dari lima. Penyakit kusta sendiri bisa disembuhkan, namun jika telat penangangan bisa menyebabkan disabilitas. Gejalanya yaitu ada timbul bercak putih kemerah-merahan seperti panu, kehilangan kemampuan rangsangan atau suhu, dan penebalan di bagian syaraf pada siku atau lutut.
Pengobatan yang dilakukan Kak Uswah yaitu melalui puskesmas dan untuk pengobatannya ini tidak dipungut biaya. Dalam menghadapi stigma sendiri, Kak Uswah bercerita bahwa dirinya rajin berobat, mengikuti anjuran dokter seperti menjaga gaya hidup, makanan bergizi, serta berolahraga. Tak lupa membangun diri bahwa untuk tetap percaya diri memiliki mimpi dan harapan bahwa penyakit ini bukan merupakan suatu keterbatasan.
Untuk menghadapi stigma, menurut Kak Uswah bisa dengan memberikan edukasi pada masyarakat dan memberikan penguatan pada orang yang mengalami kusta. Kampanye dengan informasi yang tepat juga penting dan dilakukan terus menerus dilakukan agar stigma maupun stereotipe semakin menipis.
Diskriminasi Pada Down Syndrome
Down Syndrome sendiri sering disalahartikan dengan penyakit kejiwaan dan inilah yang menyebabkan stigma. Terutama bagi orang tua baru yang kurang mendapatkan informasi, justru menyebabkan lebih keterlambatan pada anak dengan down syndrome untuk mendapatkan stimulus dan penanganan. Belum lagi tanggapan masyarakat yang belum mengetahui betul bisa menambah beban psikis pada orang tua.
Sebetulnya, anak dengan down syndrome ini bisa beraktivitas bahkan melakukan potensi yang dimiliki seperti dengan anak normal lainnya. Asalkan segera mendapatkan pengarahan yaitu mendatangi klinik tumbuh kembang untuk konsultasi kesehatan karena penyakit penyerta mudah terkena pada anak. Kemudian dukungan komunitas juga perlu untuk saling berbagi dan mendapatkan lingkungan support yang positif.
Dalam berdamai ketika sang buah hati mengalami down syndrome, awalnya bukan hal yang mudah bagi dokter Oom meski sudah mengetahui apa-apa saja teorinya. Kekhawatiran terhadap anak banyak bergelayut terlebih bagaimana sang buah hati nanti tumbuh di tengah masyarakat. Dokter Oom terlebih dahulu memberikan saran bagi orang tua anak dengan down syndrome untuk memproses terlebih dahulu berbagai emosi yang muncul, namun segera mencari komunitas untuk saling sharing dan apa saja yang dibutuhkan.
Penanganan yang lekas dilakukan ini memperpendek jarak keterlambatan tumbuh kembang dengan anak normal sesuai dengan usianya. Dilakukan dengan cara stimulasi tertentu dan intervesi melalui terapi. Tak lupa dilakukan berulang kali ketika di rumah, jadi jangan cuma saat di tempat terapi. Dukungan pada komunitas ini juga dilakukan oleh komunitas POTADS yang telah ada 10 cabang di Indonesia khusus untuk orang tua dengan anak down syndrome.
"Stigma itu nggak akan pernah bisa dilawan tanpa kita nunjukin, anak down syndrome ini bisa apa. Jadi memang nomor satunya harus mengoptimalkan kemampuan anak down syndrome itu sendiri. Di antaranya dalam kemampuan akademis dan non akademis, dan orang tua harus mengoptimalkan bakat yang dipunyai."
(dr. Oom Komariah, M. Kes)
Dokter Oom juga memberikan tanggapan serupa dengan Kak Uswah dalam menghadapi stigma dan stereotipe bagi penyandang maupun pendamping, yaitu untuk terus semangat dan bangkit dalam diri untuk menunjukan bahwa stigma-stigma tersebut itu salah. Nah jika dari penyandang maupun pendamping telah sebegitu semangatnya, bukankah kita sebagai bagian dari masyarakat juga sudah sepatutnya menghilangkan anggapan stigma-stigma yang ada juga?
***
Tidak ada komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.