Judul Buku : Weeping
Under This Same Moon
Penulis :
Jana Laiz
Penerbit : PT
Elex Media Komputindo
Alih bahasa : Utti
Setiawati
ISBN :
978-979-27-9353-6
Weeping Under This Same Moon, adalah novel bertema
kemanusiaan melalui kisah persahabatan Hannah dan Mei. Mereka dipertemukan
dalam saat-saat yang kritis ketika Mei dan adik-adiknya telah berhasil
mengarungi lautan saat mencari tempat pengungsian. Mei adalah kakak perempuan
tertua dan hal ini tentunya mempengaruhi karakternya dalam sifat
bertanggungjawab dan dewasa akan adik-adiknya. Hannah sendiri adalah tipe gadis
SMA yang kurang populer, sering disebut aneh, dan memiliki sifat pemarah
ditambah overthinker—memikirkan
segala sesuatu yang justru membawanya ke kepekaan terhadap kondisi-kondisi
sosial. Contohnya saja saat Hannah masuk ke sekolah proyek yang disebut-sebut
sebagai sekolah untuk anak yang “kurang” atau “bermasalah”, justru Hannah
merasakan orang-orang di sekolah proyek lebih nyata dan anti drama. Contoh lain
lagi, Hannah selalu merasa dirinya pathetic
atau payah dalam keluarganya maupun lingkungannya—yang untungnya dibawakan
secara jenaka oleh Jana Laiz sehingga berkali-kali saya menunggu bab Hannah
namun dirinya selalu menemukan ide-ide spontan dan berani. Saat Hannah menonton
televisi dan melihat manusia perahu atau pengungsi dalam kondisi serba
memprihatinkan, dia semata-mata menghubungi kantor IRC dan membantu mereka
secara sukarela.
"Aku bertanya-tanya apa yang dulu kulakukan sehingga dihukum dengan tidak adil dan harus menghabiskan hari-hariku seperti ini? Tersiksa, dikelilingi orang-orang yang tidak tahu apa-apa, tidak peduli apa pun."—Hannah
"Persetan dengan orang-orang! Itu motoku! Persetan mereka semua!"—Hannah
"Aku tidak mau bertambah tua. Tidak sudi. Tunggu. Kalau tidak mau bertambah tua, itu berarti aku akan mati muda. Oke, kucabut perkataanku. Tapi aku tidak mau menjadi lemah dan uzur." —Hannah
Hannah membantu pengungsi dengan caranya sendiri, bukan
dengan mudahnya menyodorkan uang namun mengumpulkan barang-barang setelah
dirinya pergi ke gereja. Hannah sendiri memiliki latar belakang keluarga
Yahudi, dan setelah beberapa lama dia mengajak Mei dan adik-adiknya ke area
pasar pecinan di daerahnya. This is it, bagian
betapa indahnya keberagaman dan saling menghargai. Mei dan para pengungsi dari
Vietnam juga menyambutnya dengan hangat dengan beberapa kali memasak makanan
khas Vietnam untuk Hannah. Mereka juga
sama-sama belajar bahasa, walaupun serba keterbatasan mereka dapat mengerti
satu sama lain.
Novel ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu POV Hannah dan
Mei. Kita akan dibawa betapa mengerikannya kondisi perjuangan Mei beserta
pengungsi-pengungsi yang frustasi. Kemudian diimbangi dengan
celetukan-celetukan isi kepala Hannah. Novel yang mendapatkan banyak
penghargaan ini tak ayal membuat pembaca jauh berpikir bahwa, ada yang lebih
hangat, lebih manusiawi dan lebih membahagiakan daripada mengejar selebrasi
kesuksesan individu, yaitu saling berbagi dan menolong antar manusia. Juga, ada
sisi dari manusia—kita sendiri yang dapat melakukan hal lebih, hal yang juga
bermanfaat bagi orang lain saat bahkan kita sendiri lupa untuk bersyukur.
***
Write a comment
Posting Komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.