Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Mungkin ini tulisan kesekian
tentang Muse, seseorang yang saya kira tak akan saya temui dalam hidup
saya—seseorang yang dalam angan adalah yang saya butuhkan, seseorang yang
mendekati tokoh fiksi yang biasa saya baca. Baiklah, mungkin dalam tulisan ini
saya agak susah merangkai kata-kata. Seperti apa kata dosen saya, tak semua
yang dirasakan harus diungkapkan—diekspresikan dan kadang kau sesekali hanya
rasakan dalam diam. Jadi terakhir ini saya lebih suka merasakannya dari pada
menuliskannya, mencatatnya agar saya bisa terus mengingatnya tanpa tulisan,
merawat ingatan.
Tentunya tulisan ini tak akan ada
tanpa air mata, sakit, kekecewaan, luka, juga kebahagiaan yang sebenarnya. Saya
pernah merasa jatuh olehnya, pernah merasakan kekecewaan yang mendalam juga
karena saya rasa dulu dia hanya orang-orang repetisi yang mencoba mengisi hati
saya. Saya sempat tak percaya karena kecewa, hingga pada akhirnya saya lebih
memilih untuk menerimanya. Menerimanya dengan melepaskannya dengan jiwa yang bahagia dan lapang, bukan dendam.
Namun saat saya sudah pada titik tersebut, alam semesta justru berkonspirasi.
Dia kembali lagi, dengan segala rahasia yang dia ceritakan pada saya lebih
dalam lagi.
Saya bingung, apakah saya harus
bahagia atau biasa saja. Saya memang tak bisa melepaskan dia sebagai sosok api
dan seseorang yang sangat berarti di kehidupan saya. Dia Muse, seorang seni,
seorang inspirasi. Dengannya saya telanjang, benar-benar apa adanya saya tanpa
ditutupi oleh lapis-lapis yang biasa saya gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dialah sosok dalam angan-angan manusia termasuk saya impikan seperti manusia
kebanyakan. Sosok yang menerimamu apa adanya, berat badan, rupa wajah, sifat
buruk manusia, tinggi badan atau hal-hal standar remeh manusia lainnya.
Dengannya saya merasa benar-benar menjadi diri saya sendiri, saya yang selalu
ceroboh mengambil keputusan, yang selalu mendapat kesialan, yang tak berani
bereskpresi dan selalu tegang di depan orang-orang menjadi sangat damai di
sisinya.
Dalam kehidupan memang tak ada yang sempurna namun manusia
menciptakan standar-standar kesempurnaan yang utopis itu sendiri. Seperti
perempuan cantik itu harus langsing—standar yang sangat menyesatkan definisi
cantik itu sendiri. Sebagai perempuan yang sepanjang hidupnya tak pernah merasa
kurus atau lebih cenderung berisi, perasaan rendah diri tentu saja datang
menghampiri meskipun saya sendiri memiliki pendirian bahwa berat badan sama
sekali bukan masalah dalam hidup saya sepanjang saya sehat dan bisa melakukan
kegiatan fisik yang menyenangkan. Dan saat saya jatuh, dia berkali-kali pula
menguatkan saya, mengingatkan saya kembali bahwa saya adalah orang yang
kuat—yang saya sendiri bahkan suka lupa. Iya lupa.
Dia mengingatkan kembali akan
paradoks kehidupan bahwa hidup memang tak selalu perkara mana yang benar mana
yang salah karena masing-masing juga akan menemui titik hasil yang mungkin
berkebalikan. Hidup adalah tentang seni menikmati di manapun itu seperti dalam
perjuangan, cobaan, menunggu, diberi nikmat, rejeki, serta berdamai dengan diri
sendiri dan menerima bahwa dalam berkehidupan sosial memang banyak ragam sifat
manusia termasuk yang tak kita suka. Pun terkadang menyelingi pelik kehidupan
dengan bahasan imajiner seperti benarkah adanya dunia paralel yang terbentuk
dari imajinasi kita sendiri?
Dia juga adalah patah hati saya kala itu, seseorang yang
membuat saya harus kembali membangun
diri saya sendiri baik melalui luka dan bahagia. Dia nyata, apa adanya,
begitu juga dengan saya ketika bersamanya. Dalam kondisi seperti ini, kondisi
dia memberikan jiwanya bahwa saya adalah orang yang dia benar-benar dia cintai,
justru saya kembali bertanya-tanya. Sedang bercandakah Tuhan kali ini?
Seseorang yang saya tunggu sekian lama dan saat dia benar-benar ada di depanmu,
apalagi yang kauminta? Segalanya ada padanya, beberapa hal yang sama membuat
kita semakin menjiwa satu, lalu bagaimana kemudian lagi? Dia bahkan terkadang
lebih tahu daripada dirimu sendiri.
Dalam titik ini juga saya
berharap dia menjatuhkan pilihan yang
tepat pada saya. Saya juga salah satu orang yang pernah merasa “paling benar” dari
pada dia. Merasa ego saya lebih baik dan segala keputusan hanya saya yang
benar. Saya juga berkali-kali berbicara buruk secara subjektif saat dia lebih
memilih diam (mungkin saja). Ada kalanya saya terlalu banyak meminta dia untuk
berubah, namun pada akhirnya saya yang memilih untuk mundur. Namun dari sini
juga saya lebih memilih menarik perasaan, membangun saya kembali lebih kuat
menghadapi realita.
Saya mungkin kadang merasa ini
hanya kebetulan, atau memang dua jiwa yang sama-sama saling mencari dan
akhirnya bertemu? Jika ini adalah opsi terakhir, maka saya berharap akan
berjalan selamanya. Selamanya tanpa diingatkan untuk tak saling meninggalkan.
Dia adalah sosok yang memberi
saya waktu. Waktu di mana kesabaran menanti benar-benar dirasakan, waktu dalam
proses mengenal diri sendiri lebih dalam, sampai waktu-waktu yang menyenangkan.
Dialah satu-satunya, yang hidup melawan stereotipe dan teguh pada pilihannya
sendiri namun tetap bisa bahagia dengan cara yang orang kebanyakan tak mengerti.
Saya senang ketika dia bisa hidup dengan berani, namun berani sebagai
identitasnya sendiri. Saya mungkin memang tak tahu apa definisi cinta, namun
ketika anggapan kau hanya butuh satu orang yang membuatmu benar-benar nyaman
dan apa adanya—dialah orangnya.
Terinspirasi dari Fourtwnty
– Kusut.
Setelah masa-masa akhir
April dan awal Mei 2018.
Tidak ada komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.