Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Halo guiese, gimana kabar? Jadi, Juli
ini saya berkesempatan untuk menonton film Indonesia dengan judul Dua Garis
Biru setelah sebelumnya melewatkan banyak film Indonesia yang katanya bagus
untuk ditonton seperti Ave Maryam, 12 Steps
of May, Kucumbu Tubuh Indahku, Keluarga Cemara, dan Mantan Manten. Hhh
banyak juga.
E sabar dong sabar yang udah
nonton juga. Mungkin postingan ini akan mengandung bumbu-bumbu spoiler jadi jika yang belum nonton
boleh berhenti dulu di sini dan kembali lagi saat sudah menonton. Tapi bagi
yang sudah menonton, bolehlah berbagi pendapat di sini.
Alasan pertama saya menonton
adalah lagunya Banda Neira dan Dara Muda yang mengalun saat trailernya, yang kedua tentu saja
rekomendasi dari penikmat-penikmat film. Dua jam nggak kerasa saat nonton Dua
Garis Biru ini, pun tanpa perasaan bosan atau ngantuk. Let’s see, bisa dibilang film yang membuat penontonnya terus
penasaran dari satu bagian ke bagian selanjutnya.
Well, karena review di mana-mana pasti tentang film yang bagus
tentang edukasi mengenai pendidikan seks bagi remaja, maka saya akan mencoba
mengambil dari perspektif lain. Yaitu, ekonomi dan kelas sosial dalam
masyarakat.
Berat amat Ya Gusti
Maka sebelum itu, apresiasi untuk
film ini karena banyak ditentang walaupun banyak yang mendukung. Itu artinya
film ini emang keren, punya penggemar itu biasa tapi punya haters yang hanya menilai dari trailernya
saja yang mungkin perlu diedukasi juga itu keren. Hampir sama kaya Kucumbu
Tubuh Indahku yang dianggap sebagai film kampanye akan eljibiti.
Lanjut nih, the film is so that good buat ditonton dengan pendampingan orang
tua kalau khusus remaja. Buat ningkatin bonding
antara anak dan orangtua, senggak cocok-cocoknya anak dan orang tua, tetap
saja kalian keluarga. Saya aja selama nonton ini jadi kangen sama Mama, dan
dikasih liat kalau jadi orang tua emang profesi paling berat di dunia.
Nah, udah telpon mama papa belom?
Jadi orang tua itu bukan cuma hamil 9 bulan 10 hari, itu pekerjaan
seumur hidup.
Malah, saya pikir film ini justru
tentang orang tua Dara dan Bima, jadi ya lagu-lagu kesukaan saya ketika diputar
di sini seperti Biru-nya Banda Neira, Sorry-nya
Pamungkas, dan Growing Upnya Dara Muda itu cocok banget. Jurang perbedaan
yang kontraks, yang berada dan yang kurang berada menjadi perhatian utama saya
ketika nonton film ini. Akting Zara dan Angga yang benar-benar anak SMA naif
dan labil mendukung akan hal tersebut.
Dara, pada awal film
diperlihatkan sebagai siswa SMA yang ya, setidaknya mempunyai mimpi, memiliki
nilai bagus, lugu, dan seperti anak SMA biasanya: menyukai boyband serta make up.
Bima sendiri kebalikannya, mendapat nilai rendah, tak berpikir panjang mengenai
konsekuensi, dan juga lugu. Tak ada kelebihan lain yang ditampilkan selain
memang Bima adalah sosok remaja laki-laki yang sedang kasmaran dan susah payah
mendapatkan tempat di hati orang tua Dara.
Scene yang paling saya suka yaitu saat di UKS dan perjalanan
Darabim menuju rumah Bima—gang-gang sempit yang diisi oleh mereka yang memiliki
penghasilan rendah. Pergantian pengambilan gambar, suasana yang digambarkan,
detail-detail seperti jemuran, raut-raut wajah orang tua yang menceritakan
kisah. Ibu Dara dan Ibu Bima digambarkan sama dalam film ini, menjadi yang
terpukul, merasa gagal, dan bingung secara bersamaan. Ayah Dara sendiri
walaupun terlihat tegas namun agak kurang bijaksana dengan membiarkan Dara tak
dipulangkah ke rumah. Minimal, mungkin ada bagian tambahan menengok Dara ketika
ada di rumah Bima. Sepanjang film, terlihat juga beberapa kali berusaha
menenangkan dan menengahi Dara dan istrinya. Kemudian yang bijaksana di sini
adalah sosok Ayah Bima, lebih tenang namun berpikir, bagaimana menjadi pengenah
dalam konflik yang ada. Ditambah lagi Dewi, saya suka outfitnya yang ditampilkan dan memang seperti style sebenarnya dari kondisi keluarga Bima. Yang saya suka adalah
setiap adegan ibadah di rumah Bima, rasanya selalu khidmat dan khusyuk.
“Mama jangan hanya maafin Bima, namun maafkan diri mama juga.”
Awalnya, saya nggak suka sekali
sama bagian akhir dalam film ini. Seakan-akan, malah melenceng dari awal dan
pertengahan alur—namun mungkin itulah pesan tersiratnya. Dara yang dari awal
sangat peduli akan anaknya dengan tak mau aborsi, tak mau menyerahkan pada
tantenya, menikah secara sederhana (which,
kalau dewasa pasti tipikal pernikahan yang meriah dan instagrammable) justru malah pulang dari rumah sakit pasca operasi
pengangkatan rahim (dan sudah jalan tanpa kursi roda? Atau mungkin sudah
beberapa hari ceritanya) dan persiapan terbang ke Korea untuk melanjutkan mimpi.
Nasib bayinya? Dibawa Bima dan keluarganya.
Ya memang sih ada kemungkinan
jadi dirawat tante pamannya, atau kemungkinan lainnya karena emang endingnya memberi sendiri ruang untuk
penontonnya menebak-nebak. Saya membayangkan rumah Bima yang sudah sempit dan
tak kedap suara itu akan dipenuhi suara bayi, kakak Bima yang tertunda
menikah, dan Bima sendiri yang mungkin
akan mencari pekerjaan dari pada melanjutkan kuliah. But let’s say, kepergian Dara ke Korea bukan hanya meraih mimpinya
namun mungkin sambil mencari tambahan untuk kebutuhan finansial anaknya.
"Hanya karena kamu nggak melihat, bukan berarti hal tersebut tak terjadi."
Atau dibalik nih kalau misal Dara
yang kurang mampu dan Bima yang mampu, mungkin saja nasib Dara akan lebih
menderita dan selanjutnya akan bisa ditebak ba gai ma na.
Seakan-akan, akhir dalam film ini
memberikan satir:
“Makanya kalau miskin, nggak
usah aneh-aneh!”
Wow so daaaaark, nggak ah, tetep ada lucu-lucunya kok. Nonton aja, termasuk
lucunya kehidupan ini xixixi. Film ini keren karena banyak menyiratkan
pesan-pesan realita kehidupan, bisa dikaji dengan analisis semiotik, seperti
ondel-ondel, jam pasir, jembatan, nama Adam, kerang, stroberi, dan lain-lain.
Dua Garis Biru memberikan warna baru juga bahwa dalam penggambaran realita
kehidupan melalui film nggak harus dengan sinematografi yang kelam—namun memang
betapa hal tersebut dekat sekali dengan kita. See you in the next post!
***
sumber gambar: trailer DGB
Wah keren juga yak film ini, kayaknya saya gak bakal keburu nonton.
BalasHapusOh iya mbak, kalau mau baca seputar fotografi silakan mampir ke blog saya di gariswarnafoto (dot)com
Jadiii... dibeberkan di sini spoilernyaa,,, Mantul Mbak Marfa hehehee
BalasHapusAku yg nggak tahu jadi cukup tahu ahhh. Pen nonton, nggak ada temen ke bioskop, ehh jeuhh ding wkwkkw.
Selalu ya kalau film yg berkesan tuh mesti ada pro dn kontranya, apalagi Dua garis biru. Bahkan dari trailler aja kalau yg anu, bisa menganggpanya film ini mengajarkan yg begini begini, coba ditontonlah hehehee
Makasih banyak buat sharingnya yahh Mbak ^_^
Buat saya ini satu-satunya film remaja paling berkualitas tahun 2019. Selain aktingnya keren, ceritanya keren, bermanfaat banget buat remaja.
BalasHapusAyo bermimpi lebih besar lagi dan berjuang lebih keras lagi agar terhindar dari munculnya "Makanya kalo miskin enggak usah aneh-aneh". Hahahaha
BalasHapusKeluarga Cemara bisa ditonton streaming mba.. udah banyak #duhmalahdukungpembajakan
BalasHapusSaya juga pengen nonton DUa Garis Biru awalnya tapi setelah baca spoilernya diatas kok endingnya gantung dan membiarkan penonton yang memilih endingnya seperti apa.. kentaang berarti yaa.. wah jadi males nonton malahan
Aduh kena sop iler nih film yang bagus nih untuk ditonton tapi kayanya film ini penuh dengan kontroversial ya mba ada yg support ada juga yg engga.
BalasHapusFilm ini lagi viral dan sangat kontroversi. Orang belum nonton sudah sudzon duluan. Padahal film yang ditanyangkan wajib di tonton, karena ada pesan-pesan realita kehidupan. Jadi pengen nonton.
BalasHapusKayaknya banyak nilai edukasi dari film ini, masa saya sma pun ada yang kejadian seperti Dara, si teman perempuan melanjutkan kuliah dan bayinya diasuh sama keluarga laki-lakinya, dan film ini memang kayaknya sesuai realita yaa
BalasHapusFilm yg menarik perlu pndampingan ortu. Tp satu sisi emang perlu sih.
BalasHapusAku sih belum pernah nonton film dua garis biru ini. Tapi sempat lihat trailernya masih anak dibawa usia sudah hamil. seharusnya ini tidak dipertontonkan anak-anak jaman sekarang ya.
BalasHapusBener-bener..
BalasHapusKejadian dalam film memang selalu dekat dengan realita kehidupan.
Karena kehidupan sendiri adalah panggung sandiwara, katanya sebuah lirik lagu.
Aku suka cara cerdas sutradaranya menghadirkan cuplikan adegan tersirat dari adegan kerang, stroberi, ondel-ondel, jam pasir, dan beberapa objek benda lainnya.