Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Saya
kira, berkomitmen mengenai bersosialisasi dengan manusia lain hanya
akan digunakan ketika kita mempunyai pasangan. Maksudnya, ketika
pasangan melakukan kesalahan kemudian kita memang harus dengan sabar
menghadapi dan mengkomunikasikannya. Itu juga terjadi kalau di
keseharian dengan orang lain ternyata, dimulai dari yang paling kecil
dengan dimulai berdamai dengan diri sendiri kemudian bijak juga
menghadapi orang lain.
source: unsplash.com gdańsk |
Selama
ini, saya selalu berkata dan menyugesti diri sendiri untuk agar tak
melihat seseorang dari satu sisi saja. Namun saya luput dalam menilai
orang dan seringkali hanya terfokus pada kekurangan atau kesalahan yang
dilakukan. Manusiawi sekali memang memaafkan sangat susah, namun
setidaknya ada sedikit solusi tentang memaafkan ini di akhir tulisan ini
nanti.
Memang
susah juga memiliki sifat pemaaf jika kita nggak punya “bakat” itu dari
lahir, hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Belum lagi misalnya
ada faktor trauma atau luka di masa lalu, semakin berat saja menghadapi
hidup karena sebelum menghadapi keseharian — saya, kamu, kita, mereka
bergelut dulu dengan diri sendiri dan itu seperti urusan yang tak ada
ujungnya.
Namun pernahkah terpikir ketika kita ingin mengekslusifkan diri dengan yang serba baik — pertemanan misalnya jumlahnya akan semakin sedikit dan mengecil. Pun pada akhirnya ada masa-masa kita sendirilah yang harus menyelamatkan diri kita sendiri dahulu, nggak ada yang sama persis dengan diri kita — dari banyaknya ragam karakter dan sifat, memang seharusnya menjadikan kita belajar.
Saya pernah membaca sebuat postingan blog juga kira-kira dengan judul “nggak logis kalau menjauhi orang karena kekurangannya” dan masuk akal. Loh bukannya kalau kita mau mengupgrade diri memang harus bergaul dengan yang unggul dan berkualitas biar ikut terbawa?
Nah tapi nih tapi, gimana kalau kita bisa menjadi fleksibel bergaul dengan banyak karakter?
Ah! Ajari hamba menjadi seperti Arini Chaniago, lord.
Well,
bukan hanya di ranah kerjaan aja memang kita harus profesional, hidup
juga. Bisa memilah mana urusan pekerjaan pengembangan diri, mana juga
urusan untuk kehidupan pribadi seperti pertemananan. Banyak orang yang
akhirnya nggak terbuka karena takut kekurangannya akan diketahui dan
mengecewakan. PADAHAL, KEKECEWAAN DALAM HIDUP ITU SANGAT-SANGAT NORMAL. Kekecewan itu sangat biasa apalagi jika terlalu jauh dari yang kita harapkan. Siap ngga siap, it always happen — seperti teman yang sangat setia dan tinggal gimana kita menyikapinya. Kita nggak bisa mengontrol dunia luar, namun kita bisa mengontrol bagaimana kita bereaksi.
Kita menjadi takut, bahkan takut berkomitmen. Banyak juga yang semakin tak berani mengungkapkan kesalahan karena “itu bukan urusan saya” padahal
bisa juga kesalahan tersebut karena ketidaktahuan. Bukankah,
kesalahan-kesalahan itu yang membuat kita jadi belajar. Namun bukan
berarti juga setelah tahu kemudian sengaja, namun pastikan ada sesuatu
yang menjadi tujuan baik. Kesalahan itu yang membuat kita tetap humanis,
tetap menjadi manusia yang peduli satu sama lain — yang berani berbagi
bukan hanya selalu diri sendiri.
I, do a lot of mistakes this year and surely believe by that — I also disappointed some people. Dari
sini saya sadar juga bagaimana reaksi masing-masing orang, sekaligus
menjadi pembelajaran buat diri sendiri jika orang lain melakukan
kesalahan. Kesalahan itu ada dua jenis, yang sengaja atau nggak sengaja.
Yang sengaja pun, atau deliberate mistake bukan
karena niat yang buruk melainkan ada beberapa hal yang memang harus
dikorbankan. Kesalahan itu nggak cuma sekali dua kali langsung berubah,
namun bisa sampai yang berkali-kali dulu. Yang ini, tentunya paham akan
resiko bahwa reaksi orang itu akan berbeda-beda. Kalau yang sengaja,
beda lagi juga urusannya.
Bagaimana
sebaiknya sikap kebencian kita terhadap kesalahan? Kuncinya abaikan dan
tenang. Alihkan energi-energi negatif termasuk perasaan yang dapat
menimbulkan overthink. Jadi kita bisa berpikir lebih
jernih, banyakin juga interaksi di luar karena kadang pikiran itu
benar-benar merumitkan hal yang sederhana. Kita kira begitu banyak
benang dan hal-hal kusut di kepala, ketika dicoba diurai dari pada
dipendam lama-lama — it just perlahan memudar.
Untuk
membantu berpikir jernih dan memilah milah, otak juga harus selalu
dilatih bukan hanya dari pikiran dan sugesti saja namun latihan fisik:
olahraga dan meditasi. Dua hal “sederhana” yang sering terlewatkan ini
juga berpengaruh bukan hanya ke gaya hidup namun juga cara berpikir.
Rekomendasi video mengenai tulisan ini: Gitasav — Kenapa kita membenci? Di video ini ada step-step menyikapi dan menetralisir kebencian seperti: mengurangi insecurities, mengurangi self-comparison, mencintai diri sendiri (penting banget karena bisa berpikir lebih rasional), mencoba empati, dan mencoba mindful terhadap kebencian itu.
Banyak hal di hidup ini yang nggak make sense,
dan terlalu membenci hal-hal kecil bukanlah jawaban. Tetap rendah hati
karena mungkin kamu mengenal orang bukan selalu pada saat-saat
terbaiknya, mungkin saja sedang berusaha melawan diri sendiri setiap
harinya. Selamat menuju bijak, lapang dan bahagia.
Tulisan terkait: Catatan di Persimpangan Jalan
Tidak ada komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.