Langkah Awal Untuk Proses Penyembuhan yang Panjang dan Meningkatkan Kesejahteraan Hidup; I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki, Sebuah Ulasan

Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Isu kesehatan mental dalam berbagai media seperti film atau series seringkali digambarkan pada hal-hal yang terlihat mengerikan, asing, atau aneh. Padahal, kesehatan mental bukan hanya membahas mengenai gangguan mental saja namun meliputi banyak hal. Cara penyampaian yang ditafsirkan berbeda justru dapat menimbulkan masalah lain, misalnya glorifikasi dan self-diagnose.

I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki

Salah satu buku fenomenal karya penulis asal Korea Selatan adalah dengan judul I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki. Buku ini secara ringkasnya merupakan isi percakapan dari Baek Se Hee dengan psikiater dalam upaya memperbaiki pola salah baik dari kebiasaan maupun cara berpikir. Hal itu membawanya secara perlahan mengenal diri lebih dalam dan menguraikan benang kusut. Terutama, banyak faktor penyebab yang menggunung setelah mengetahui dan didiagnosis memiliki distimia.

“Sepertinya, kehidupan adalah suatu proses pembelajaran untuk menerima hal-hal yang terjadi pada kita. Aku pun terpikir bahwa kemampuan untuk menerima dan pasrah bukanlah sesuatu yang bisa muncul hanya pada masa-masa tertentu dalam hidup saja. Kedua hal itu adalah suatu tugas yang harus dipelajari dan dilatih terus-menerus selama hidup.”
(hlm. 201)


Judul Buku: I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki
Penulis: Baek Se Hee
Penerjemah: Hyacinta Louisa
Penyunting: Lovita Cendana
Penyelaras Aksara: Francisca Ratna
Penata Sampul dan Isi: Propanardilla
Penerbit: Haru
Jumlah Halaman: 236 halaman
ISBN: 978-632-7351-03-0

Buku ini dibuka oleh psikiater RS Siloam Bogor, dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ yang memberikan pengantar mengenai apa itu depresi dan perbedaanya dengan distimia. Lebih lanjut lagi sedikit membahas mengenai bagaimana pola pikir yang terjadi pada mereka yang memiliki depresi atau distimia seperti black and white thinking, overgenerelization, hingga ambivalensi. Pengantar ini memudahkan pembaca agar tak asing akan istilah-istilah yang ada dalam buku ini.

Review Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki


Terdiri dari 12 judul bagian, buku ini membawa pembaca untuk turut menyelami perjalanan pengobatan Baek Se Hee baik dalam psikoterapi (terapi bicara) dan farmakoterapi (terapi obat) dengan psikiater. Format yang ada mayoritas dalam bentuk seperti transkrip wawancara. Kita seakan dapat turut mendengar mendengar percapakan antara dua orang di balik ruang konsultasi dalam buku dari minggu ke minggu. Meskipun demikian, bahasan yang ada tak kaku dan bukan membahas mengenai istilah-istilah, namun mengenai persoalan sehari-hari. Ditambah juga, ada penanda warna kertas yang berbeda jika berganti judul dan terdapat kalimat yang ditebalkan untuk menyoroti poin-poin penting maupun yang menjadi petunjuk.

Baek Se Hee mengawali konsultasi pertamanya dengan bercerita mengenai perasaan tak nyaman yang dialaminya yang terus hadir. Dialog mengalir begitu saja dan membahas mengenai latar belakang keluarga, bagaimana hubungan percintaan, dan juga kegiatan dalam pekerjaan. Melalui bab demi bab, kita dapat tahu bahwa penulis memiliki kesulitan bagaimana merespon sesuatu dengan baik karena selalu ada kecemasan yang mengikuti. Penulis juga merasakan perasaan ambigu dan selalu butuh validasi orang lain khususnya yang merasakan hal serupa untuk meredakan kecemasan di kepalanya.

Keadaan distimia pada penderita memang mengakibatkan perubahan pola pikir, perasaan, dan juga berpengaruh pada perilaku. Penyebab dari gangguan depresi termasuk distimia selalu memberikan jawaban multifaktor, seperti genetik, pola asuh, lingkungan, kondisi tubuh, dan seterunya. Seiring waktu, terdapat juga peralihan hidup yang juga mempengaruhi dan ketika menumpuk seperti gunung es yang tak terlihat di dalam air—efeknya baru muncul ke permukaan saat tak tertangani dengan baik.

download buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki

Melalui buku ini dalam sesi konsultasi, Baek Se Hee menuturkan bagaimana dirinya merasa terlalu sensitif, berpikiran secara ekstrem yang tentu saja mempengaruhi perasaan, memiliki pikiran berlebih dan selalu merasa dirinya dinilai buruk oleh orang lain, terus-terusan memiliki perasaan bersalah, serta cara dalam mengembangkan diri secara kurang sehat. Pilihannya hanya dua hal, ya atau tidak sama sekali, hitam atau putih. Keduanya sama-sama tak memberikan ketenangan karena terus-terusan dikejar kecemasan.

Kita diajak dalam lembah kebingungan dalam pikiran Baek Se Hee dan mempertanyakan, apakah pilihannya sudah baik, apakah ada kesalahan yang mungkin terlihat di mata orang lain, dan ketakutan akan bagaimana dirinya akan dinilai. Hidup dalam perasaan dan pikiran seperti itu tentunya tak menyenangkan apalagi jika sudah tanpa sadar menjadi suatu kebiasaan. Kebingungan-kebingungan yang hadir dalam buku ini perlahan diajak untuk diurai dalam proses konseling. Melalui proses konseling, salah satunya mengarahkan Baek Se Hee untuk menyadari pikiran otomatis yang muncul dan usaha untuk mengendalikannya.

Sekilas, persoalan yang dibahas Baek Se Hee dalam buku ini terlihat “receh” dan sangat wajar terjadi di kehidupan umumnya. Namun lagi-lagi, fokus pada di sini adalah perasaan menderita dan terganggu pada keseharian. Untuk itu momen screening dalam wawancara selalu ada sebelum dokter memberikan obat. Perihal gangguan pada kesehatan mental ini, rasa sakitnya tak terlihat seperti sakit pada fisik. Sesi konseling dan catatan pengobatan dalam buku ini adalah ilustrasi bagaimana penanganan melalui observasi pada pasien.

Membaca esai I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki tak ubahnya seperti membaca perjalanan seseorang menjadi versi lebih baik. Buku ini mengalir begitu saja dan bahkan beberapa seperti acak dalam membahas persoalan sehari-hari. Pengobatan yang dijalani Baek Se Hee jelas menunjukan perubahan, namun fase naik turun itu tetap ada. Ada kalanya penulis menunjukan keberhasilan baik dalam perasaan mood yang lebih baik atau cara berpikir yang lebih tenang dari sebelumnya. Hal ini memang bergantung dari seberapa besar kedisiplinan dan keterbukaan pasien—jelas bahwa proses pemulihan ini tak bisa dilakukan seorang diri.

“Anda harus mengenal diri Anda, baru bisa menyelesaikan permasalahan ini. Anda tidak boleh hanya bertanya ‘mengapa aku seperti ini?’ tanpa mengenal betul diri Anda sendiri.”
(hlm. 49)

Tujuan dari mendatangi terapis seperti misalnya psikiater ini adalah proses pemulihan, dan bukan fokus pada label diagnosis. Setidaknya itulah kelebihan dari esai Baek Se Hee ini bahwa konseling itu bisa berbagai macam bahasan, termasuk yang menurut kita remeh dan sering diabaikan. Kesejahteraan hidup atau well-being lah yang menjadi sasaran utama, seperti penulis buku ini yang meskipun mengalami penderitaan namun tetap dapat beraktivitas bahkan menelurkan karya baru.

Terdapat juga catatan dari psikiaternya di akhir buku ini yang juga turut mengutarakan bahwa seorang ahli juga tetap manusia biasa yang tak sempurna dalam prosesnya. Naskah dari buku tersebut telah dibaca terlebih dahulu sehingga mengurangi bias yang hanya terdapat dari catatan seorang pasien.

“Kebanyakan orang tidak bisa menjalani kehidupan di mana perkataan dan tindakan mereka selaras. Meskipun sudah diasupi dan mendapat pengaruh ilmu pengetahuan, jika tidak bisa mengawasi dan mengendalikan sikap, maka akan muncul sifat asli dari orang tersebut.”
(hlm. 199)

Buku yang bersampul ungu muda dengan sedikit kesan pink ini telah mencapai lima belas kali cetakan, setidaknya itulah yang tertera di buku yang saya miliki. Namun, ada beberapa kesalahan minor yang masih saya temukan seperti di halaman 194, terdapat kurangnya penambahan spasi setelah koma pada kalimat baris nomor empat dari bawah. Hal serupa yang juga saya temukan di cetakan ke dua belas, yang artinya masih luput dan belum diperbaiki. Pada halaman 32 di baris ke enam, terdapat kata “Anda” sebanyak tiga kali yang menurut saya lebih efisien hanya dengan cukup dua kali pengulangan.

Setiap karya yang hadir akan melahirkan banyak perspektif baru untuk didiskusikan termasuk I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki. Tak sedikit saya menemukan ulasan seperti isi buku membosankan, atau mendapat bintang rating yang sedikit karena buku ini belum memenuhi ekspetasi akhir cerita, atau tak menyukai cara pikir penulis yang terlihat annoying. Pengalaman yang dialami oleh Baek Se Hee memang tak relate dengan semua orang dan hanya segelintir yang mengalami. Memang seperti itulah kelihatannya; pikiran berlebihan bahkan hal yang tak perlu, perasaan rendah diri dan mengakibatkan mental block, kebingungan, keputusasaan, dan ruminasi pikiran. Sekali lagi bahwa depresi tak selalu dalam bentuk hal-hal kelam, namun ketidaksinkronan antara pikiran, perasaan, dan juga perilaku dan penyembuhan tak sesederhana “jangan seperti itu/jangan dipikirkan” atau “harus lebih bersyukur.

Namun ruang diskusi ini bagus karena membuka pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang dirasakan orang mengalami depresi atau distimia. Minimal dengan pertanyaan kecil tersebut mengenalkan bahwa bentuk dari depresi atau distimia dapat mempengaruhi keseharian—yang mungkin selama ini hanya dianggap sudah natural atau digeneralisasi. Esai dalam buku ini juga setidaknya mengantarkan agar melatih empati bagi sesama, karena tak perlu saling merasa terlebih dahulu.

baek se hee

Buku ini tak ayal dapat menggerakan langkah pembacanya yang juga mengalami hal serupa untuk dapat maju ke depan meja konsultasi dan mengizinkan diri sendiri untuk mendapatkan pertolongan. Gambaran bagaimana proses konseling dengan spesialis kesehatan jiwa dan apa saja yang dikatakan disampaikan dalam isi buku, serta menggerakan kesadaran lebih luas mengenai kesehatan mental yang sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Tentu saja, justru hal yang baik jika menyadari lebih awal mengenai pola berulang yang ada dalam diri dan terlihat berpotensi menjadi masalah sebelum menggunung.

Bagi yang sebelumnya sudah rutin konseling, ketika membaca buku ini mungkin sekali untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi apa saja yang perlu ditata ulang. Karena di dalamnya ada proses mengurai masalah keseharian yang juga bisa dialami secara umum, bisa menjadi bahan reflektif untuk merenungkan kembali melalui jawaban-jawaban atas pertanyaan dari penulis. Singkatnya, buku ini bisa menjadi seperti teman bagi yang sedang mengalami kondisi serupa. Kalau menurut saya pribadi, buku ini dari pada memiliki jenis self-development akan lebih tepat jika jenisnya adalah self-help.

Perjalanan memulihkan kesehatan jiwa termasuk di dalamnya proses berdamai dengan menerima dan mencintai diri sendiri tak selalu mulus. Perjalanan itu bisa naik, turun, atau bahkan mengalami kemunduran. Namun perlu diketahui, seperti layaknya hidup dengan pasang surutnya itu sendiri bahwa bantuan itu selalu ada dan kita tak perlu harus sendirian dalam prosesnya.

Selebihnya, buku ini tetap bisa dibaca dan dinikmati dengan tanpa terburu-buru dan cocok bagi yang haus akan tema perjalanan mencintai diri sendiri atau menemukan diri sendiri kembali. I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki seakan merangkul untuk sama-sama berjuang dan bersikap welas asih pada diri sendiri dalam prosesnya. Saya turut diajak merenung pada kalimat-kalimat kontemplatif yang ditulis Baek Se Hee serta nasihat dari psikiater untuk menengok kembali pada dalam diri. Apa yang kita pikirkan terkadang berbeda dengan di kenyataan dan perlu bongkar pasang untuk menemukan jawaban yang tepat. Tak jarang dalam perjalanan itu kita menemukan hal yang baru dan tak terduga-duga dan masih menjadi bagian dalam diri. Ternyata benar bahwa, perjalanan paling panjang dan berliku adalah perjalanan mengenal diri sendiri.
***

Tidak ada komentar

Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.