Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Saat berusia remaja SMP dahulu
dan mengenal feminisme, saya begitu bangga jika mendapat label maskulin seperti
berjalan dengan tegas seperti laki-laki, bisa mengangkat kursi dan meja, tak
masalah berpanas-panasan di bawah matahari, atau cuek dengan penampilan. Bahkan
senang sekali sekali waktu pernah mendapat label “tomboy” dan bergumam betapa
enak sepertinya terlahir sebagai laki-laki. Kala itu belum sepenuhnya sadar
berada yang dinamakan lingkungan berbudaya patriarki namun sudah mempertanyakan
banyak hal “memang perempuan harus begini begitu ya?” “Ah masa sih?” Dulu juga
merasa keren seandainya saja memiliki nama belakang laki-laki kaya di
film-film, sampai akhirnya bersyukur tinggal di Indonesia jadi nama bisa bebas
tanpa embel-embel nama keluarga, nyahaha.
Sampai akhirnya sekitar berusia 17
tahunan mengacknowledge bahwa menjadi
perempuanpun begitu menyenangkan, bahwa tak perlu menjadi laki-laki juga untuk
melakukan hal-hal yang dianggap keren di atas. Ada beberapa pengalaman di masa
kecil juga yang tak membuat saya bahagia, atau membandingkan dengan anak-anak
yang lainnya. Betapa budaya patriarkipun dalam lingkungannya bukan hanya
berpengaruh pada tumbuh kembang anak, namun juga mempengaruhi pola parentingnya. Dulu sih iya sempet kesel,
tapi sekarang sadar juga ada faktor turun temurun dan kondisi sekitarnya adalah
pedesaan. Mana tahu apa itu kesetaraan gender dan feminisme, anak perempuan
seharusnya lemah lembut, manutan, dan
cekatan mengurusi semua kegiatan dalam rumah. Di usia remaja kala itu saya
sudah berpikir berat sekali menikah kalau setiap hari takut dinilai hasil
beres-beres rumah ndak bersih atau
nggak pinter masak. Tinggal di masyarakat seperti ini betapa menyadari kemiskinan
dan patriarki adalah dua kombinasi yang mengerikan.
Saya jadi inget di linimasa
Twitter pernah ramai membahas privilese, apalagi setelah pengangkatan staff
khusus muda Presiden. Masa remaja saya juga pernah sangat menyukai
kutipan-kutipan banyak orang bisa sukses padahal pernah drop out, framing media
seperti kalau ditelan mentah-mentah sudah pasti menyesatkan. Iya, DO namun anak
seorang kaya dan segala fasilitas ada ditambah dengan momentum yang tepat dan
bum, betapa sukses itu bukan cuma talenta, kerja keras, namun juga momentum.
Beda memang tingkat kesuksesan
yang berprivilese dan yang berkekurangan, walaupun sama-sama bekerja keras dan
berjuang sudah pasti kecepatannya berbeda. Yang tak berprivilese ini mungkin
akan lebih memiliki resiliensi yang tinggi dan kebal terhadap kegagalan, alias
mungkin kalau disuruh cerita keberhasilan adalah tipikal yang akan menjawab
dengan
“saya hanya telah lama berkawan
dengan kegagalan”
But the thing is, nggak akan berbicara lebih lanjut mengenai
privilese di sini karena yang berprivilesepun akan berusaha seperti Putri
Tanjung maupun Maudy Ayunda. Mereka justru menjadi pelecut bagi kita para
pejuang privilese agar bekerja keras dan nggak rebahan mulu. Yep benar,
privilese ini bisa diperjuangkan—bukan cuma cintamu sj y.
Beberapa anak terlahir bukan
dengan privilese berbentuk material dan pendidikan, namun bisa juga mendapatkan
didikan orang tua yang sangat bijak walaupun tak menempuh pendidikan tinggi.
Namun itu sangat sedikit, ya bagaimana mau meraih pendidikan yang tinggi jika
pola komunikasi dalam pola pengasuhan saja masih kurang, bagaimana seorang anak
akan berkomunikasi dengan masalah kesehariannya jika orang tua tertutup.
Hubungannya apa sih ini sama patriarki?
Jadi gini, seorang anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan sejak kecil ini
cerita mengenai prestasi, pendidikan, atau bahkan isu-isu global yang menjadi
materi sebuah lomba akan lebih baik memilih membantu orang tuanya berjualan,
membantu menawarkan jasa tenaga cuci, dan tak ada waktu. Beberapa bisa bangkit
dan memperbaiki kondisi keluarga, namun mereka yang kalah dengan keadaan akan
menikah dan tak mampu melawan budaya patriarki dan konservatif berpotensi akan berakhir dengan kemiskinan
struktural. Apakah hal tersebut yang masih ada tak membuat hati kita
teriris-iris. Kok masih ada yang merana bertahun-tahun bahkan setelah kita
berjuang dan berusaha menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Itu kondisi di sekitar kita di
Indonesia, dan sebelumnya pernah dibawakan dalam film Dua Garis Biru mengenai keluarga yang hidup dalam serba kekurangan.
Jika dalam DGB diceritakan lebih ke sex
education untuk remaja, maka Kim Ji Young Born in 1982 membawakan di masa
modern ini perempuan masih menjadi manusia dengan kelas nomor dua. Bentar deh,
nafas dulu.
Yang dialami oleh Kim Ji Young
akrab sekali dialami oleh perempuan-perempuan yang berada di budaya patriarki, saudari-saudari kita. Bukan, Kim
Ji Young bukan karakter yang lahir dengan ibu yang kalah akan budaya patriarki
namun justru ibunya sangat mendukung Ji Young meraih mimpi setinggi mungkin. Ibu
Ji Young sendiri digambarkan seorang perempuan yang mengorbankan mimpi-mimpinya
di masa muda dengan bekerja keras untuk kesejahteraan adik-adiknya.
Ji Young sendiri adalah anak
kedua dari tiga bersaudara, lahir dan tumbuh baik-baik namun dari kecil akrab
dengan budaya patriaki. Seperti anak perempuan seharusnya tak berisik,
menggunakan pakaian yang “lebih sopan”, dibandingkan anak laki-laki yang dikatakan
lebih membawa keberuntungan, bahkan sampai di lingkungan kerja dengan anggapan
sealpha female apapun kamu—kamu tetap
perempuan. Sukses sekali menjadi suatu pemimpin dalam perusahan dan menentukan
arah gerak sendiri akan tetap disebut “gagal” jika jarang di rumah dan merawat
anak secara 24/7.
Hingga akhirnya Ji Young
berkeluarga dan memiliki satu anak. Dari yang awalnya bekerja dan masih
memiliki mimpi diganti dengan merawat anak serta urusan rumah tangga walaupun
segalanya serba berkecukupan. Ji Young ini digambarkan lelah dan jenuh secara
mental namun tak disadari hingga mengalami split
personality. Inilah mengapa saya katakan juga Kim Ji Young Born in 1982
seharusnya nggak sekalah hype dengan
Joker.
Jika Joker memang sudah memiliki
gangguan PBA dan hal-hal ekstrim yang menimpa di kehidupannya menimbulkan
depresi, maka Kim Ji Young menggambarkan bahwa kesehatan mental bisa terancam dan datang bahkan dengan
cara yang pelan-pelan dan lembut sekalipun. Film ini sendiri berjalan dengan
mengalir, tak ada puncak yang meledak-ledak yang ditampilakan. Seakan
menyampaikan persan bahwa memang telah mengakarnya budaya patriarki dalam
keseharian dan telah dianggap suatu kewajaran.
Film ini sendiri beserta novelnya
menimbulkan kontroversi di negaranya, Korea Selatan. Film ini bukan membawa
pesan untuk membenci laki-laki, namun budaya patriarkinya. Apakah budaya
patriarki ini hanya merugikan perempuan? Tentu saja tidak, laki-laki juga bisa
mengalami. Kamu bisa membaca contohnya di Menikah: Membunuh atau Menghidupkan Diri Perempuan.
Kita juga akrab sekali bahwa ada kasus KDRT yang berlangsung dengan waktu
yang lama namun tetangga terdekat tak membantu dengan dalih “urusan rumah
tangga adalah urusan mereka”.
Karakter Kim Ji Young memiliki support system yang dapat membantu
kepulihannya dengan karakter ibu, kakak perempuan, dan suaminya. Selebihnya,
masih ada bagian-bagian dari film yang betapa patriarki sudah melebur dalam
keseharian. Kim Ji Young memberikan pesan napas pada para perempuan untuk tak
apa-apa menjadi berbeda dan memilih mimpinya masing-masing. Mimpi milik semua,
bahkan perempuan baik dalam keberanian yang heroik maupun dengan keadaan yang
lembut, mengalir, namun juga mengakar.
Film ini berlangsung seimbang
karena menguraikan patriarki namun juga digambarkan beberapa karakter perempuan
yang mulai mendobrak budaya patriarki dan konservatif yang sangat kental di Korea Selatan. Yang
paling penting dan tak terlewatkan juga adalah seberani apapun dan seberusaha
apapun perempuan melawan stigma-stigma tersebut, perlu dorongan yang kuat juga
dari keluarga terdekat. Dukungan dari yang terdekat, komunikasi dalam
pernikahan dan bervisi bersama-sama, keberanian untuk speak up, serta dampingan untuk berkonsultasi ke ahli atau
profesional mengenai masalah kesehatan. Saya
rasa, dari Kim Ji Young ini semakin menegaskan bahwa tak akan ada lagi
perempuan yang takut menikah karena patriarki.
Aku adalah seorang anak.
Seorang istri.
Seorang ibu.
Tapi di atas semua itu, aku adalah seorang perempuan.
Seorang istri.
Seorang ibu.
Tapi di atas semua itu, aku adalah seorang perempuan.
Kim Ji Young, Born in 1982
***
Rujukan bacaan mengenai topik
terkait bisa kamu baca juga sebagai berikut:
Tirto: Kim Ji-young, Born 1982: Mengurai Patriarki Secara Gamblang
Voxpop: Film ‘Kim Ji-young’ Indonesia Banget, Laki-laki Berani Nonton Nggak?
Femina: Kim Ji-young, Born 1982, Mengurai Isu Kesehatan Mental dan Patriarki
Kincir: (REVIEW) Kim Ji-young, Born 1982 (2019)
Kincir: (REVIEW) Kim Ji-young, Born 1982 (2019)
Pijar Psikologi: Perempuan, Pola Asuh Anak dan Budaya Patriarki
Tempo: Objektifikasi Perempuan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Mental
Magdalene: Ruang
(Ny)aman Soroti Gangguan Kesehatan Mental Perempuan
sumber gambar: www.hancinema.net, huffingtonpost.com, indofankor.blogspot.com, trailer KJY1982 EONTALK
Aku penasaran banget sama Kim Ji Young ini. Belum baca novelnya juga. Sebagai gadis desa, masih buanyak banget soal nikah muda, perempuan harus ini dan itu. Sering disinggung dan harus sempurna. Lelah banget hidup kaya gitu
BalasHapusWah pengen tau lebih lengkap, ada gak sih novelnya yg bahasa indonesia? Karena kisahnya kaya byk bgt terjadi di indonesia
BalasHapusBudaya patriarki dan KDRY hal yang cukup dengan keadaan di Indonesia, kisah yang menarik ya.
BalasHapusGimana ya, memang patriaki sudah melekat di masyarakat, susah dihilangkan. Aku dulu juga seneng banget kalau fisebut tomboy, padahal kalau dipikir sekarang apa gunanya voba seneng dikatain tomboy
BalasHapusBaca review ini, jadi penasaran, nih. Seperti apa kehidupan patriarki di sana. APakah sama dengan di sini atau beda. Apa saja yang dialami Kim Ji Young. Kalau saya tidak salah tangkap, film ini datar di permukaan tapi bikin bergolak di dalam dada. Dengan kata kasarnya, mungkin membosankan bagi sebagian orang, tapi menarik bagi sebagian lainnya. Benar begitu, kan?
BalasHapusAku cuma mikir, Marfa jangan takut nikah, ya? Hihi.
BalasHapusBtw aku jadi penasaran sama filmnya. Lihat foto-fotonya aja udah "bicara" banget itu. Kayaknya para pemain mendalami peran banget.
Huwaa kayaknya aku perlu nonton pilem ini nih. Kyknya kok relevan juga sama kehidupan ibuk2 di Indonesia secara mungkin masih sama dan kaget juga sih di era modern gini msh gtu ya. Emang ibu2 semacam ini butuh pertolongan ya mbak, krn mungkin tanpa kita sadari di sekitar kita ada, bahkan diri sendiri bisa jd kek gtu tanpa sadar.
BalasHapusSukaaaa banget!
BalasHapusSaya membaca banyak review tentang film ini, dan suka banget.
Saya bahkan menulis 2 review, tentang kesehatan mentalnya dan tentang patriarkisnya.
Dan memang, karena film ini padat informasi, jadinya banyak dibahas dari sudut pandang beragam.
Kalau menurut saya, alih-alih film ini sebagai pendobrak patriarki, justru menurut saya sebagai pengingat wanita akan kodratnya.
Dalam kasus Kim Ji-Young, toh tidak ada yang melarang dia bekerja loh.
Dia tidak bekerja karena memang keadaan yang tidak membolehkannya.
Dia sudah punya anak, nggak mungkin tega menitipkan anaknya ke ibunya yang memang sudah demikian menderita sejak kecil memikirkan nasib orang lain, bukan dirinya.
Toh juga daycare mahal, gajinya Ji-Young juga nggak sebanyak untuk menutupi biaya daycare.
Justru saya mengambil hikmah, betapa peran orang tua dalam mengenalkan anak kepada kodratnya itu perlu.
Anak lelaki paham kodratnya mencari uang, sehingga tidak terjadi macam zaman sekarang yang mana banyak perempuan terpaksa ikut bekerja dan mengorbankan waktu bersama anaknya karena memang suaminya tidak bisa memenuhi semua kebutuhan pokok keluarga.
Anak perempuanpun, banyak yang atas nama feminisme ingin berkarya setinggi-tingginya, lalu akhirnya terputus saat dia menjadi istri dan ibu.
Itulah yang membuat banyak wanita depresi di zaman sekarang.
Bosan di rumah saja, tapi mau kerjapun tidak memungkinkan, karena ada anak.
Bukan karena dilarang :)