Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Pendidikan Formal Yang Tak Melahirkan Kreativitas
Sejak SMK, saya sudah “lama
berkenalan” dengan bidang kewirausahaan bahkan ada mata pelajarannya tersendiri
dari kelas X hingga kelas XII. Pun ketika mendengar cerita-cerita inspiratif
akan kisah sukses para wirausahawan, selalu ada rasa antusias namun masih tak
yakin dengan diri sendiri. Mindset kala
itu wirausaha atau entrepreneur ya
masih yang mereka yang punya kemampuan komunikasi atau berbicara yang bagus,
yang bisa mengatur tim dengan baik (kepemimpinan), serta yang pandai jualan aja.
Mindset tersebut terbawa di masa
kuliah, padahal kan dengan teman, kenalan yang lebih banyak bisa dimanfaatkan
untuk mengembangkan diri menjadi entrepreneur.
Karena merasa belum terlalu passion dengan hal teknis tersebut,
akhirnya lebih memilih bloging untuk
mengisi waktu luang dan secara menakjubkan sangat membantu di kehidupan kuliah.
Dari yang awalnya hanya hobi, bisa sekaligus mengisi waktu dengan produktif,
menambah portofolio, serta bonus yang sangat menyenangkan berupa uang tambahan
untuk jajan. Dari sini juga jadi belajar pentingnya bagaimana menjalani
komunikasi yang baik dengan partner atau
klien, bagaimana mengatur keuangan, dan bagaimana membuat personal branding baik di media sosial maupun di dunia nyata. Ketika
akhirnya bergabung dengan inkubator startup
dan berperan sebagai content writer, dari
sini juga belajar dengan sangat menyenangkan bahwa ternyata skill membuat narasi juga tetap
diperlukan di era sekarang.
Blogging juga salah satu kegiatan alternatif di mana saya bisa
menjadi penuh menjadi diri sendiri, atau ketika saya merasa kurang cukup di
kelas-kelas. Bertahun-tahun dalam kelas dan menjadi siswa nomor dua karena
lebih pendiam rasanya selalu ingin mencoba pencapaian di luar itu. Atas hal
tersebut bersyukur juga, karena dari inkubator startup tersebut bisa belajar public speaking dan hospitality dari
luar kelas dan justru ilmu-ilmulah yang sangat berguna ketika lepas dari bangku
sekolah maupun kuliah. Bisa juga kok, dari blogging
masuk ke ranah profesional jika didalami dengan keseriusan yang
sungguh-sungguh.
Tak akan membahas lebih lanjut
mengenai blogging di sini, namun
ketika berada di inkubator startup. Di
sini mindset saya perlahan berubah bahwa
untuk menjadi entrepreneur sudah
bukan lagi mereka yang sukses berjualan produk atau jasa seperti kebanyakan—namun
sudah mulai merambah ke era kolaborasi. Terasa sekali juga saat weekly meeting di mana kok susah sekali
mengeluarkan ide berdasarkan kebutuhan lapangan, pikiran-pikiran ini terbawa
karena hanya terbiasa mengikuti aturan atau perintah. Kalau di kelas-kelas terbiasa
untuk mengikuti alur yang sudah ditentukan, dan ketika ujian juga hanya
diberikan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya adalah hafalan.
Bukan hanya saat kegiatan
akademik saja, berkegiatan selama di UKM Fakultas atau Universitas saja belum
menjamin secara valid pengalaman tersebut akan terbawa saat di dunia
profesional. Ada juga sih Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang berhubungan langsung dengan masyarakat,
minimal ada pengalaman resiliensi menghadapi tekanan atau stres namun tetap
saja ada jurang perbedaan yang besar ketika sudah berada di ranah profesional.
Padahal, bukannya masing-masing jurusan memang sudah disesuaikan dengan
kebutuhan industri. Namun nyatanya, kualifikasi yang ditampilkan untuk menjadi
pekerja kadang susah diraih oleh para fresh graduate.
Sikap kritis selama akademik memang perlu, namun yang juga tak kalah
penting adalah kreativitas.
Kreativitas Yang Melahirkan Inovasi
Saya sedih ketika melihat salah satu
teman yang begitu gemilang dengan akademik berkata pada saya
“Buat apa kreativitas? Hanya buang-buang waktu.”
Padahal pattern atau pola mengenai kreativitas ini sudah berubah, jadi bukan berbentuk seni atau karya yang dihasilkan dari pengunaan otak kanan saja. Mengenai hal ini saya pernah menuliskannya juga di Kreativitas Juga Butuh Kedisiplinan. Kreativitas memberikan sedikit kebebasan untuk dapat mengenali diri sendiri dan berani mengambil langkah atas kesadaran dirinya, bukan karena dasar takut akan kegagalan atau takut tak berada di zona nyaman.
Saya juga belajar bervisi ketika
dalam fase shifting tersebut di dalam
dunia pendidikan yang saya rasa sudah terlalu lama dalam kelembaman dan kurang
berhasilnya uji coba, seperti ujian nasional 20 paket, kurikulum k13, sampai full day school. Pada waktu itu
berandai-andai bagaimana kalau budaya-budaya dalam lingkungan startup ini masuk dalam ke dunia
akademis. Ternyata selang beberapa bulan kemudian, Presiden RI Jokowi
menyebutkan dalam pidatonya seperti ini:
“Harus disertai kerja keras, dan kita harus kerja cepat, harus disertai kerja-kerja bangsa kita yang produktif. Dalam dunia yang penuh risiko, yang sangat dinamis, dan yang kompetitif, kita harus terus mengembangkan cara-cara baru, nilai-nilai baru. Jangan sampai kita terjebak dalam rutinitas yang monoton. Harusnya inovasi bukan hanya pengetahuan. Inovasi adalah budaya.”
Belum berhenti dengan kekaguman gerakan dari pemerintah yang juga mulai sadar tersebut, diangkat pula Nadiem Makarim sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan, serta Wishnutama sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di usia yang muda. Terakhir, pengangkatan 7 staf khusus milenial muda dari berbagai latar belakang sedikit memberikan angin segar dan harapan untuk pemuda bisa tergerak menjadi lebih produktif lagi atas minat masing-masing.
Tak perlu jauh-jauh dulu untuk
bisa menjajaki jenjang karir sejauh tokoh di atas, namun setidaknya ada model
baru yang bisa memberikan jawaban dari fenomena yang telah disebutkan. Startup, adalah salah satu bentuk model
baru dari entrepreneurship yang bukan
hanya membutuhkan tangan-tangan yang cekatan dalam bisnis namun juga mereka
yang handal dalam teknologi digital serta semangat berkeatifitas. Startup juga cocok bagi anak muda
milenial yang menyukai tantangan dan memiliki rasa penasaran yang tinggi. Lingkungan
dan budaya yang lebih ramah untuk pemuda dalam mobilitas serta bertukar pikiran
membuat tingkat optimis dan produktifitas meningkat dari pada hanya bekerja
sendirian. Dengan semangat kolaborasi bisa menciptakan startup yang sifatnya memecahkan masalah atau problem solver.
Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi, kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya. Kita memasuki era di mana akreditasi tidak menjamin mutu, kita masuk era di mana masuk kelas tidak menjamin belajar. Ini hal-hal yang harus segera disadari, harus segera akui dan kalau tidak bisa bicara terbuka mengenai isu-isu ini dan tidak bisa meningkatkan kualitas di dalam pembelajaran perguruan tinggi maupun di sekolah-sekolah, ini yang harus kita challenges. - Nadiem Makarim
Semangat entrepreneurship inilah yang penting untuk dijaga dan dimiliki,
salah satunya antusiasme dan kreativitas yang telah disebutkan. Bukan hanya
untuk menuju ke cita-cita entrepreneur saja,
namun ke sumber daya yang bukan hanya berkualitas dan pilihan namun mandiri dan
inisiatif. Ibaratnya, bagaimana individu terutama anak muda nanti mandiri ketika menghadapi tantangan perubahan zaman atau ketika ia ingin berdiri secara mandiri.
16 Sektor Ekonomi Kreatif Dalam Mendukung Potensi Sumber Daya Manusia Unggul
Startup adalah fenomena baru dari munculnya model bisnis yang baru,
dikarenakan juga oleh faktor manusia yang masing-masing memiliki aset material.
Gojek misalnya, tak perlu memiliki aset berupa motor atau mobil namun memiliki
mitra (driver) dengan jumlah yang banyak.
Startup hanya satu bentuk dari pengembangan
16 sektor ekonomi kreatif yang bisa diberdayakan dan dikembangkan pada pemuda. Ekonomi
kreatif ini hadir setelah pola-pola lama sebelumnya yaitu ekonomi pertanian,
ekonomi industri, dan ekonomi informasi.
Tentunya sudah tak asing dengan
Bekraf (yang sekarang sementara sedang dinonaktifkan) dan mengoptimalisaikan ke
16 sektor tersebut. Yaitu aplikasi dan pengembangan permainan, arsitektur,
desain produk, fesyen, desain interior, desain komunikasi visual, seni
pertunjukan, film animasi video, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan,
periklanan, seni rupa, televisi dan radio. Saya sendiri mengikuti dua yaitu
bidang digital di Bekraf Dicoding Day Purwokerto (pengenalan untuk pemula) dan penerbitan
yang pernah sebelumnya di post di Bekraf Writerpreneur Bogor.
Dari Writerpreneur tersebut sudah
menghasilkan satu buku dengan judul Rempah Rindu. Bukan final juga dari workshop
tersebut melahirkan buku dari berbagai latar belakang penulis namun juga
telah diluncurkan di Perpusnas RI, telah dibawa ke Bekraf Festival Solo,
mengikuti IIBF (Indonesia International Book Fair), dan juga telah
diikutsertakan dalam pitching VIU, dan
juga terbentuk pula pengurus dari komunitas tersebut dengan nama Elang Tempur.
16 sektor ekonomi kreatif ini
juga sudah dikenalkan di kampus-kampus untuk menjaring potensi-potensi muda.
Seperti misalnya di Universitas Muhammadiyah Surabaya pada September 2018 lalu
dalam meningkatkan minat generasi muda dalam ekrafpreneur.
Kalau bicara mengenai solusi,
bukankah hal tersebut dimulai dari hal yang kecil? Apa bentuk dari solusi
tersebut, tentunya cari cara-cara dan praktiknya kan bukan hanya pada teori
saja? Melalui ekonomi kreatif ini, setidaknya anak muda bisa diajak untuk
belajar bervisi akan ada apa saja di masa depan di bidang pembangunan ekonomi. Dengan
mendalami, mengalami di masing-masing bidang yang dipilih dan ditekuni, akan
bisa memprediksi tantangan-tantangan apa yang ada di depan. Karena solusi
seperti inipun bukan tanpa kendala atau permasalahan, namun setidaknya ada
prospek yang lebih jauh di depan.
2019 ini dipenuhi juga dengan
istilah-istilah yang sering digaungkan seperti ekonomi kolaboratif, digital economy, bonus demografi, atau
struktur organisasi yang agile. Benar
memang perlunya menanamkan semangat entrepreneurship
merupakan langkah awal yang bisa memberikan dampak. Dengan memberikan
pendekatan contoh atau role model, ketertarikan
itu bisa dibangkitkan. Di Purwokerto sendiri, sudah ada lembaga inkubator startup coop (InnoCircle Initiative) yang
membuka kesempatan banyak anak muda terutama mahasiswa dan fresh graduate dari latar belakang jurusan apapun untuk bergabung
menjadi pegiat startup. Lain lagi,
ada juga Nemolab yang lebih spefisik ke pengembangan software, atau Heartcorner yang lebih fokus ke ruang kolektif bagi
mereka yang menyukai musik, visual, atau seni. Tanpa adanya semangat entrepreneurship, tak mungkin akan bisa
terus berdiri karena yang berdiri tersebut membutuhkan visi mau dibawa ke arah
mana di masa-masa depan.
Bukan hanya
gerakan dari Bekraf saja mengenai optimalisasi ekonomi kreatif untuk SDM Unggul,
namun disebutkan pula dalam Dialog Nasional Ekonomi Kreatif oleh Kamar Dagang
dan Industri Indonesia (Kadin) pada Kamis, 7 November 2019 lalu. Tujuan dari dialog oleh Kadin Indonesia
inipun untuk merumuskan pertumbuhan serta pengembangan ekonomi kreatif di
Indonesia aar mampu bersaing di tingkat nasional, regional, bahkan
internasional. Didorong juga dengan hasil riset dari e-Conomy SEA 2019 yang
disusun oleh Google, Temasek, dan Bain Company di mana pertumbuhan ekonomi
digital di Asia Tenggara melaju pesat. Kesempatan inilah yang bisa dimanfaatkan
melalui sektor ekonomi kreatif yang beriringan dengan pertumbuhan jumlah usia
produktif di Indonesia (bonus demografi).
Saat ini, dari ke 16 potensi sektor ekonomi kreatif tersebut ada 3 subsektor yang menonjol dan paling banyak peminatnya, yaitu fesyen, kuliner, dan kriya. Ketiga subsektor tersebut menyumbang lebih dari 70% PDB ekraf. Bukan tak mungkin juga subsektor yang lain juga turut meningkat pertumbuhan ekonomi. Jadi, sudah saatnya bukan lagi hanya sekadar menjadi konsumen namun juga bisa menjadi kreator. Selamat berproses dalam kreativitas!
Saat ini, dari ke 16 potensi sektor ekonomi kreatif tersebut ada 3 subsektor yang menonjol dan paling banyak peminatnya, yaitu fesyen, kuliner, dan kriya. Ketiga subsektor tersebut menyumbang lebih dari 70% PDB ekraf. Bukan tak mungkin juga subsektor yang lain juga turut meningkat pertumbuhan ekonomi. Jadi, sudah saatnya bukan lagi hanya sekadar menjadi konsumen namun juga bisa menjadi kreator. Selamat berproses dalam kreativitas!
***
Rujukan & referensi tulisan:
- Ekonomi Kreatif: Permasalahan, Tantangan dan Prospeknya
(umm.ac.id)
- Ada 16 subsektor ekonomi kreatif, apa sajakah itu?
(elshinta.com)
- Dorong SDM Unggul, Kadin Indonesia Gelar Dialog
Nasional Ekonomi Kreatif (hightlight.id)
- Mau Genjot Ekonomi Kreatif? Indonesia Butuh SDM
Unggul (idntimes.com)
- Bincang Ekrafpreneur, Informasi Peluang Bisnis di
Bidang Ekonomi Kreatif (bekraf.go.id)
- Soal Fokus 2020 ke Pembangunan SDM, Apa Kata Kadin?
(bisnis.com)
kalau melihat perkembangan zaman sekarang maka selain ilmu yang tebal, ide dan kreatifitas juga harus diasah dan terus dikembangkan. JAringan dan kerjasama juga jadi kunci sukses. jadi semua perlu diasah dan dikembangkan ya kak
BalasHapusIya semuanya memang harus diasah beriringan sehingga hasil dari kolaborasi yang tercipta akan luar biasaa
Hapusekonomi kreatif memang sudah seharusnya menjadi tonggak bagi ekonomi sebuah negara ya. Karena apa-apa sekarang sudah dimodernisasi dan digitalisasi. Dan ternyata bekraf punya banyak media untuk kita ikutan berpartisipasi ya? menarik.
BalasHapusYaps, sudah ada wadahnya kalau kita mau ngembangin. Aku sendiri antusias jadi salah satu pelakunya, karena kalau kreatif bawaanya hidup terus :D
HapusBener banget sih mba, jaman sekarang menanamkan semangat enterpreneurship itu penting banget. Kalau bisa harus sudah dipupuk sejak dini ya
BalasHapusIyap, sifat-sifatnya yang bukan hanya mengandalkan kreatifitas namun juga resiliensi, nggak takut gagal, berani, itu sih yang penting menurutku meskipun nanti tetep butuh tim dalam perjalanannya
HapusJangan hanya jadi penonton, tapi tunjukkan karya kreatif yang berdaya jual...
BalasHapusBegitu ya mbak. Memang harus ulet, kreatif dan inovatif di zaman sekarang. gelar tak menjamin kompetensi. Masih banyak skripsi mahasiswa yang beli.
AH IYAAA. Aku selama kuliah masih merasa kurang banget jikalau nanti menjadi lulusan, maka aku juga sedang melatih agar nggak biasa-biasa saja
HapusSaat masih kerja di penerbitan, saya semoat belajar sedikit tentang ekonomi kreatif karena perusahaan penerbitan merupakan salah satu jenis ekonomi kreatif yang terus dikembangkan apalagi sekarang zaman digital, persaingan semakin ketat dan membutuhkan banyak kreativitas ya
BalasHapusIyap benar sekali kak, sekarang kalau karya tulis juga nggak berhenti dalam bentuk buku cetak aja namun bisa diajukan menjaid visual kaya webseries
HapusSaat ini enterpreneur menjadi tulang punggung perekonomian, dan menjadi salah satu cara dalam mengurangi tingkat pengangguran. Yuk ah selalu tingkatkan kreativitas diri biar bisa lebih bermanfaat :)
BalasHapusYap bener banget, jadi bisa ngebantu banyak orang dengan membuka lapangan pekerjaan. Syaaap, aku juga lagi melatih diri nih kak
HapusEh, disebut juga nama mantan kampusku, Universitas Muhammadiyah Surabaya, kampus sejuta inovasi. Hehe.
BalasHapusMemang sih inovasi harus jadi budaya di era sekarang ini. Kreatif dan kolaboratif untuk mengembangkan ide. Semangat untuk berkarya ya, buat kita semua 😊
Wah iya kak, sejuta inovasi? Aku jadi ingin bertandang dan belajar di sana hihi. Mantaaap, yok semangat yok bisa berkarya
HapusGenerasi muda saat ini terus di tuntut untuk bisa berkembang leih baik agar bangsa Indonesia bisa semakin maju ke arah lebih baik.
BalasHapusKalau mau Indonesia Maju memang mau nggak mau harus memiliki SDM yang berkualitas sih ya kak, jadi memang masih menjadi tantangan mengenai mindset
HapusWah memang ya, harusnya semua sadar dengan ini. Kita harus berbenah dan mulai tinggalkan kebiasaan dan doktrin lama, kita berbeda dengan orang orang sebelum kita. Semua punya jaman masing2
BalasHapusKarena mengikuti perkembangan zaman juga sih, nggak bisa dong stuck di situ2 aja hehe
HapusPenting banget ni ilmunya, biar tetap bisa upgrade mengikuti perkembangan zaman, dan pastinya jiwa gak gampang goyah kalau dikasi cobaan dalam berusaha
BalasHapusNah bisa tuh, kan tangguh udah biasa nyoba hal baru udah biasa akrab sama gagal
HapusDi era sekarang, ekonomi kreatif sangat banyak manfaatnya. Masyarakat akan kembali aktif mencari sumber karya atau bahkan pendapatan dari sektor ini, mantap.
BalasHapusbener, bisa sekaligus buat ladang berkarya atau sekaligus menyalurkan hobi sih :)
HapusAku setuju banget kreativitas itu sangat mendukung untuk membentuk enterpreneurship pada seseorang. Dan bangak juga telah terbukti
BalasHapusDimulai dari hal yang paling kecil ya kak, nanti tinggal belajar yang sifatnya lebih ke teknis dan leadership skill :)
HapusEmang udah saatnya kawula muda membantu mendongkrak perekonomian nasional melalui ekonomi kreatif. Aku pun satu suara soal adaptasi modernisasi dan digitalisasi untuk membantu para pelakunya berkembang.
BalasHapusWah, ada lagi istilah baru writerpreneur..
Apalagi skrg kan serba digital, informasi ketertarikan awalnya ya pasti dari internet ya kak
HapusInovasi adalah kunci pembuka berbagai pintu peluang baru, kehadiran startup sesungguhnya membuat digitalisasi dalam bidang kehidupan kian dipermudah.
BalasHapusDompet digital, layanan digital, sampai konsultasi dan informasi digital memudahkan mpbilitas masyarakat perkotaan dan perdesaan yang terjangkau internet. Yang penting adalah provider menyediakan jaringan secara meluas ke seluruh wilayah Indonesia.
Saya baru tahu soal Bekraf. Mbak hebat turut andil.
Yap benar, akses informasi yang menyeluruh ini yang juga masih menjadi PR apalagi di daerah pelosok. Ngerasain sendiri ey kalau di desa
HapusSaya suka banget klo baca tentang anak² muda berprestasi yg selalu semangat saling berkolaborasi satu sama lain utk memberdayakan diri. Yuk, betapa sesungguhnya banyak dari kalian yg mampu keluar dari zona generasi ambyar yg di sosmed statusnya pada baper melulu kwkwkwk....
BalasHapusSemangatttt anak muda Indonesia. Kalian BISA..!!!
Hehehe sebenernya beberapa ambyar cuma konten, itu yang saya takjub. Yang bahaya itu malah nular beneran semacam ambyar dan rebahan berlebihannya. Hihi mari berkarya! :)
HapusWah..keren kakaknya udah ada buku yang berhasil diterbitkan..
BalasHapusSepakat sama kutipannya..."Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi, kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya."
Alhamdulillah buku bersama hihi. Membikin harapan baru ya dr Mas Nadiem, semoga sih ada kemajuan di pendidikan kita yang sudah lama diimpikan :)
HapusSaya setuju dengan kata-kata pendidikan formal tidak melahirkan kreatifitas. Meskipun sudah dibuat kurikulum sekalipun, masih sulit untuk menciptakan kreatifitas, apalagi mindset pelajar di Indonesia hanya mengejar nilai.
BalasHapusSemangat buat menggali lebih dalam lagi tentang enterpreneurship mbaa
Padahal sudah ada smk yang seharusnya bisa menyiapkan lulusan yang siap kerja, nyatanya antara sma dan smk terjadi ketimpangan juga. Ini juga yang masih menjadi PR, hihi :D
HapusSetuju banget dengan pemaparannya mbak, sekarang yang dibutuhkan bukan hanya raport dengan nilai tinggi semua namun juga kreativitas yang lahir dari pribadi masing-masing, karena kita yakin setiap orang punya sesuatu yang bisa ditonjolkan. Dan pandai itu tak melulu nilai akademik. Semoga generasi milenial makin bersinar dan siap menggali ilmu enterpreneur dengan mengikuti perkembangan teknologi yang ada.
BalasHapusYap, pandai akademik juga baik untuk mengasah nalar kritis di kehidupan nyata. Namun jangan sampai juga kreatifitas mati dan hanya mengikuti alur perintah tanpa inisiatif ya kak :)
HapusItu temannya yang pandai di akademik, kok bilangnya gitu ya. Kreativitas itu bukan merepotkan dan sama sekali enggak merepotkan, bahkan sangat penting di dalam dunia industri kerja saat ini.
BalasHapusSemoga generasi penerus makin paham tentang ekonomi kreatif dan tidak melulu mengandalkan nilai akademik yang tinggi. Kalau bisa memang seimbang gitu ya, nilai bagus, dan kreatif juga.
Mungkin karena ngga berkecimpung di dunia kreatif jadi nggak tahu mba hehe :D yai, sekarang kalau kolaboratif makin seru dan kembermanfaatannya lebih luas sih
HapusArtikel yang sangat lengkap
BalasHapusAku setuju sama semua pemaparanmu, mbak. Kita sekarang berada di era yang membutuhkan kreativitas untuk bisa bersaing dan maju
Itu temannya yang bilang kreatif gak penting pasti sekarang nyesel deh
Hihi kadang butuh bukti juga sih mbak, nggak bisa kan ramai2 bilang ayo ke ekraf tp blm ada bukti maupun hasil. Jadi lagi2 pendekatannya dari kita lagi nih, menarique :D
HapusWah saya setuju kak, jiwa interpreneur memang sudah seharusnya ada pada anak muda sekarang, karena bekal IPK aja nggak cukup untuk terjun ke dunia kerja
BalasHapusminimal antusiasnya ya, jadi terbuka pikirannya nggak cuma memikul pride saja :)
HapusWahh dengan era yang sekarang ini, jiwa entrepreneur memang sangat di butuhkan.
BalasHapusYap, saya juga sedang belajar :)
HapusDuh tega yang ngomong begitu ya. Padahal kreativitas itu bisa diandalkan disaat saat getting. Contoh aku sudah bisa Bantu ibu Cari uang ya dari kreativitas. Dari jualan, dari ngajar dsbgi padahal dulu aku masih SMU. Dan ternyata Kebiasaan tsbt membuatku tetap punta penghasilan walau ga lagi kerja kantoran (skrg aku cuma IRT)
BalasHapusHihi mungkin melihatnya dari satu sisi kak, jadi kurang mengerti. Wah senang dong jadi IRT tapi kreatifitas tetap jalan sejak dahulu. Suka buat apa saja, mba fika?
Hapussetuju,,, anak muda harusnya gak mikir dapat ijazah semata, tapi skill dan kemampuan khusus buat bertahan di luar sana nanti...
BalasHapusindustri kreatif bakal jadi momok ini di indonesia
Iyaa kan Kak Riin, jadi nggak kagetan juga karena sudah dibekali ibaratnya :)
Hapus