Malam kedua di bulan September saya habiskan dengan menonton film berjudul Guru Dian. Seperti kebanyakan film yang saya tonton, saya tak berekspetasi apa-apa terhadap film dan membiarkannya mengalir. Justru saya kira akan bosan dengan alur cerita mengenai tema ini, namun justru saya menikmatinya sampai tak terasa film sudah habis saja.
Guru Dian bersudut pandang orang
ketiga pada film tersebut, mengenai perempuan dewasa muda yang memenuhi keinginan
ayahnya untuk mengabdi pada sebuah desa. Pada film tersebut ditunjukan bahwa
Dian memiliki 4 murid: Galih, Sekar, Rahman, dan Ujo. Meskipun tak ditunjukan
secara tersurat, namun saya (sebagai penonton) tahu keempat murid tersebut
dipilih berdasarkan dari latar belakang keluarga yang kurang beruntung.
Pertemuan pertama Dian dengan
murid adalah dengan Galih, sosok anak yang pendiam, penurut, dan tertutup.
Galih tinggal bersama neneknya berdua karena sang ayah telah tiada dan Ibu yang
bekerja di luar negeri. Karakter lain seperti Sekar dan Rahman pun hampir sama
di mana cita-cita mereka sebatas mengikuti “alur” seperti orang tua, misalnya
menjadi TKW atau pengusaha kambing.
Saya suka film ini karena fokus
tak menyoroti sosok tokoh Dian sebagai karakter superhero, namun ada pelengkap
karakter lainnya. Guru Dian bahkan di sini seakan diberikan pengalaman personal
bagaimana susahnya membangun ikatan dengan murid, bagaimana keinginan untuk murid
bisa sekolah terbentur dengan kondisi masyarakat, dan bagaimana justru sosok
Dian ini belajar dari kehidupan melalui sosok Galih dan neneknya. Misalnya
ketika Dian berkata mengenai kesederhanaan yang dia nikmati dan rasakan, Nenek
Galih justru berkata:
“Sebenarnya, hidup yang sederhana bukan tentang di mana kita tinggal, namun berasal dari hati kita”
Kemudian perbincangan dilanjutkan
bagaimana nilai hidup yang diajarkan pada Nenek Galih, yaitu membaca dan menyanyi
dalam hidup. Membaca agar hidup bisa lebih mudah, dan menyanyi sebagai bentuk
menyayangi diri sendiri dengan sementara tak memikirkan masalah hidup. Saya
kira, film ini begitu halus dan lembut bahwa hidup tak melulu kejar-kejaran,
penonton diajak untuk duduk bersama sejenak menikmati kehidupan dan segala peliknya.
Karakter Dian di film ini yang
semangat, memiliki keinginan besar, namun juga naif diimbangi dengan sosok
Tristan yang lebih santai namun juga sedikit mudah tersulut jika ditanyai
mengenai hal pribadi. Tristan lebih dahulu datang sebagai fotografer yang biasa
mengunggah foto-foto kegiatan di desa tersebut. Sosok Tristan dan Dian sering
berkonflik, namun ada satu hal dari sosok Tristan yang membuat karakter Dian
dan saya turut merenung.
“Jangan melihat hanya dari sudut pandangmu. Ubah cara pandang kamu, Non”
Bagi Dian, hal tersebut penting untuk
memahami terlebih dahulu murid-murid dan lebih penting sebelum atau hanya
melaksanakan agar murid menerima materi. Kita sebagai manusia juga rasanya penting
untuk tak hanya memandang hal dari sudut pandang kita atau apa yang ingin kita
lihat saja. Sedikit saja bergeser dari cara memandang, sesuatu hal akan
terlihat berbeda.
Selebihnya, saya menyukai visual
dari film ini dengan memperlihatkan daerah desa yang asri dan iringan kecapi
suling sunda yang indah. Iringan kecapi ini jugalah yang menutup akhir film dan
memberikan cliffhanger ending pada
penonton. Namun bagi saya sama sekali tak masalah, karena sudah terlebih dahulu menikmati proses sepanjang film tersebut.
***
Wah, berarti settingnya banyak pemandangan indah ya. Dan banyak amanat dalam film ini tak hanya tentang pendidikan tapi juga karakter dan kehidupan sosial mereka.
BalasHapusAku suka film tema seperti ini. Diingatkan kembali untuk bersyukur dan yang pasti lebih sabar menghadapi anak-anak.
BalasHapusCerita yang sangat menginspirasi deh. Pendidikan adalah isu menarik di Indonesia dan setiap daerah punya ceritanya. Diangkat dengan manis kali ini ceritanya
BalasHapusSuka sekali dengan film Indonesia yang mengangkat tema pendidikan dan hal-hal yang relate dengan kehidupan kita saat ini. Masalah yang sebenarnya Pemerintah pun masih belum sepenuhnya menangani dengan baik, terutama masalah pendidikan di pedalaman.
BalasHapusPernah dengar kyknya film ini mbak tapi lupa2 ingat. Ini sepertinya tayangan bagus dan mengambil realitas yg terjadi ya. Krn jd guru di pelosok emang gak mudah, butuh idealisme gtu ya?
BalasHapusSebetulnya ada beberapa film tentang guru yang diproduksi di negara kita, sayang banget nggak booming ya. Pengin nonton film ini di mana ya?
BalasHapussaya suka film2 genre seperti ini
BalasHapustentang guru di desa
alam desa yang nyaman
anak2 murid dengan berbagai karakter khas org desa
plus ilustrasi musik yang bikin kangen desa
penasaran nontonnya..ada link kah ?