Sudah mantap belum judulnya hah, hah?
Hah heh hah heh,
kaya lagi niup keong warna warni 500an yang hari ini beli besok mati aja. Sad.
Ketika melihat draft postingan ini, saya melihat tanggal 17 Oktober 2019—yang artinya sudah setahun. Padahal juga nggak nyengaja untuk membuka draft ini dalam waktu yang sama namun berbeda tahun, justru saya kira dibuat pada tahun sebelum 2019. Mungkin karna kebetulan sama-sama di suasana sendu karena hujan, ada semacam dorongan untuk membuka draft ini kembali dan maunya harus segera dipublish agar feelnya nggak hilang.
Sebetulnya awal
judul bukan ini dan lebih spesifik, dan tentu saja jika tak dirombak sedikit
tak akan juga diposting ini draftnya.
Ah ya judulnya bukan terinspirasi dari lagu Ninggal
Cerito ya, memang sudah ada dari setahun lalu. Daan, here we are~
Nampaknya saya
harus menulis sedikit ingatan ini dalam blog personal ini, mengapa menjadi
ingatan karena tentu saja ada hal-hal yang tak bisa terjadi lagi di masa kini.
Meskipun Purwokerto hanya sekitar 30 menit dari rumah, hidup di kota kecil ini
dimulai dari ketika resmi diterima menjadi mahasiswa. Memori sebelum itu ya
pastinya ada, sebagai anak PKL di Dinsos yang deket stasiun itu, belanja buku
di Gramedia lama (depan Dindukcapil), dan merelakan mantan kekasih yang sudah
lebih dahulu jauh move on dari
hubungan. Pedih.
Maka dari itu
rasanya pernah ada di masa menyusuri kota kecil ini sambil bertanya pernah ke
mana saja sang mantan berkelana. Lucu karena masa SMP kami bersama, masa SMA beliyo
di Purwokerto, dan ketika kuliah saya malah baru datang di kota kecil ini. Tapi monmaap nih kenapa jadi nostalgia
mantan.
Menulis tentang
Purwokerto (saat ini pada November 2020), belum bisa jauh-jauh dari rasa patah.
Untuk beberapa hal alasannya personal dan sangat sederhana, namun dengan alasan
yang sama tentu saja reaksi masing-masing individu berbeda bukan. Seorang teman
juga berkata bahwa dirinya baper banget sepeninggalannya
dari Purwokerto dan segala yang menemani selama kurun waktu 4 tahun. Rasanya
kami mengalami hal yang sama namun hanya saya yang beranjak di tempat yang
sama. Barangkali perlu untuk mengubur dengan kegiatan-kegiatan lain yang perlu
dilakukan.
Saya jadi
teringat tulisan Pungky Prayitno dengan judul adalah Menghadapi Patah Hati, membaca kala peralihan semester akhir dan
satu per satu meninggalkan masa kuliah ternyata berat karena semacam menemukan
rasa dan lepas. Dulu sih mengira bahwa seberat apapun hidup kayanya nggak akan
bikin saya semelow ini tapi ya
namanya juga manusia haha. Tentang kota kecil tempat di mana berani membangun
mimpi-mimpi kecil, langkah-langkah pertama, dan untuk keberanian mencari dan
mejadi diri sendiri. Tempat di mana pernah menjadi seidealis namun sepolos itu, tempat di mana pernah...begitu berani. Kota kecil yang tiap jalanan dan suasananya, selalu
berhasil membuat rindu.
Perasaan-perasaan
di atas valid dan nggak perlu
terburu-buru lekas-lekas menghilangkan, namun juga jangan terlalu lama memberi
rasa nyaman pada diri sendiri. Ini bagian sulit, karena beberapa waktu rasanya
seperti bertarung dengan diri sendiri dan bukan bekerja sama. Untuk menjadi
pengingat setiap hari bahwa, hidup terus berjalan, hidup harus terus
berjalan. Sementara perkara
keikhlasan bukanlah kata final, namun sebuah perjalanan itu sendiri. Dan juga
barangkali tulisan ini dapat menjadi sarana pengingat ketika kelak diri ini
sudah berjalan, langkah yang cukup jauh baik nanti akan mengenali maupun tidak.
Sesekali hidupmu di Purwokerto, carilah hal yang
bermakna dari hal-hal kecil untuk menjadi bekal ingatan suatu hari. Di sini,
kamu harus merasakan bagaimana rasa bahagia.
Tidak ada komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.