Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK dan Disabilitas, Bagaimana dan Seperti Apa?

Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Hola, apa kabar?

Saya selalu berusaha berpedoman kalau hanya sedikit hal yang saya ketahui di dunia ini, semata-mata untuk menjadi pengingat agar merasa lebih tinggi dari siapa pun. Ungkapan bahwa semakin banyak kita tahu, ternyata justru semakin sedikit hal yang kita ketahui itu benar adanya. Pengingat inilah sekaligus untuk tetap menyalakan spirit belajar selama hidup.

Makna Kemerdekaan Bagi OYMPK, Seperti Apa?

Maka pada Rabu kemarin (24/8), saya beruntung mengikuti live talkshow dari KBR dengan tema Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa melalui YouTube. Siaran langsung selama satu jam ini beneran nggak terasa, tahu-tahu sudah diujung acara. Menyenangkan mendengarkan langsung dari cerita pengalaman dan sharing dari dua narasumber yang dihadirkan, yaitu Mbak Marsinah Dhede (OYPMK/Aktivis Difabel & Perempuan) dan Dr. Mimi Mariani Lusli (Direktur Mimi Institute).

Diskriminasi dan Stigma yang Masih Ada

Stigma dan diskriminasi ke disabilitas, memangnya saat ini masih ada? Pertanyaan tersebut barangkali terbesit, apalagi saat ini teman-teman tak hanya sekali dua kali melihat fasilitas atau sarana prasarana yang ramah disabilitas. Atau begitu juga dengan lapangan pekerjaan yang sudah mulai melibatkan teman disabilitas, hal tersebut memang betul dan perlahan terbangun inklusifitas.

Namun belum semuanya terjadi atau terciptanya inklusifitas tersebut, terutama misalnya di daerah pedesaan yang edukasinya belum merata. Jadi, masih menjadi PR dan terus menerus adanya edukasi maupun keterlibatan dalam masyarakat agar diskriminasi ini sepenuhnya hilang. Terutama bagi penyandang penyakit kusta yang erat dengan anggapan-anggapan yang keliru. 

Kusta atau lepra sendiri sering dikaitkan sebagai penyakit kutukan, tak bisa sembuh, dan berbahaya sehingga penyandangnya seringkali dikucilkan. Padahal dengan masa perawatan yang tepat dan disiplin, kusta bisa sembuh dan bersih dari penyandangnya. Pengobatannya pun gratis dan bisa didapatkan melalui puskesmas terdekat. Namun jika sudah sembuh dan masih dalam lingkup diskriminatif atau stigma, maka OYPMK atau orang yang pernah mengalami kusta ini belum merdeka. Jika begitu, pemenuhan hak hidup di lingkungan yang inklusif hanya sekadar impian.

Dr. Mimi Mariani Lusli
Dr. Mimi Mariani Lusli, penyandang tunanetra dg dua gelar master dan direktur Mimi Institute.

Hal tersebut diutarakan juga oleh Dr. Mimi selepas seseorang menerima diagnosis. Kebingungan akan timbul seperti akan bagaimana ke depannya, apakah nanti akan ada penolakan di keluarga, dan harus berbuat seperti apa. Jikalaupun penyandang kusta atau disabilitas lainnya sudah siap menunjukan dirinya namun masih dalam lingkaran stigma masyarakat, maka bisa menimbulkan gangguan psikis dan mempengaruhi kesejahteraan hidup.

Makna Kemerdekaan Bagi Disabilitas dan OYPMK

Predikat penyandang kusta ini bisa tetap ada semasa hidup pada OYPMK meskipun sudah bersih. Begitu juga anggapan pada disabilitas yang menyamakan bahwa cacat artinya tak sempurna, sehingga muncul pula ejekan-ejekan. Bukan hanya bisa menimbulkan gangguan pada kesehatan mental dan fisik, namun kesejahteraan psikologis juga turut terkena atau jadi tak optimal.

Marsinah Dhede
Marsinah Dhede, Aktivis Difabel & Perempuan.

Itulah juga yang dialami secara nyata oleh Mbak Dhede, beberapa tahun silam ketika mengalami kusta. Mbak Dhede yang aktif sebagai aktivis wanita dan difabel ini mengingat jauh ke belakang saat dirinya terkena kusta di usia 8 atau 9 tahun. Selepas mencocokan apa yang terjadi di perubahan kulitnya melalui siaran radio,  Mbak Dhede mengajak orang tua ke puskesmas itu diperiksakan dan kemudian menjalani pengobatan.

Cerita Mbak Dhede terdengar tak ada masalah karena kesadaran pada dirinya tinggi dan mendapat dukungan dari keluarga. Namun pada saat itu, pengalaman tak menyenangkan terjadi seperti penolakan oleh seorang guru karena takut. Apalagi memang saat itu informasi dan edukasi masih belum mudah didapatkan seperti era internet sekarang. Padahal, Mbak Dhede menjalani pengobatan dengan rutin dan disiplin bahkan rutin disuntik sejak mengetahui gejala yang muncul.

Mbak Dhede juga turut menambahkan bahwa memerangi diskriminasi dan stigma ini juga perlu didukung dengan kebijakan-kebijakan dari pihak pemerintah dan penerapannya. Misalnya seperti adanya UU yang meregulasi mengenai pemenuhan hak disabilitas dan OYPMK agar tak tertinggal. Pasalnya jika tak begitu, akan menambah angka pengangguran. Justru dengan adanya peningkatan kapasitas, skill, pelatihan kerja, dan penempatan di lingkungan pekerjaan akan lebih berdaya dan terjadinya inklusifitas yang lebih merata.

Berita KBR Makna Kemerdekaan Bagi Disabilitas

Mbak Dhede menambahkan melalui cerita pengalamannya bahwa ia memiliki semangat yang tinggi untuk sembuh karena adanya dukungan besar dari pihak keluarga. Jadi memang lingkungan terdekat ini berpengaruh sekali terhadap penyandang kusta. Dr. Mimi juga turut menambahkan bagi OYPMK maupun disabilitas, jangan takut untuk memberanikan diri ke luar rumah atau masyarakat dan bersosialiasi. Berdasarkan pengalamannya, ada beberapa anggapan atau ejekan yang memang orang lain lontarkan karena ketidaktahuannya. Ketika Dr. Mimi bercerita dan menjelaskan, barulah mereka dapat mengerti dan lebih bertindak secara benar.

Tentu saja untuk dapat speak up memang membutuhkan keberanian yang besar. Maka dari itu dari lingkungan sosial juga sudah seharusnya untuk memberikan lingkungan yang ramah dan aman. Libatkan dalam kegiatan atau ruang tanpa adanya sekat pembeda, jadi kesempatan dan peluang juga dapat terbuka lebih luas.

Ada juga saran bagi disabilitas dari Dr. Mimi untuk mengikuti organisasi disabilitas jadi dapat saling advokasi. Organisasi juga dapat menyediakan wadah untuk pelaporan jika terjadinya pelanggaran terhadap pemenuhan hak yang dialami. Dr. Mimi juga mengajak pula teman disabilitas untuk jangan takut mengintervensi lingkungan sosial, mengambil bagian, dan keluar dari penjara yang membuat tak merdeka ini.

Seperti Dr. Mimi yang memiliki dua gelar master di Universitas Indonesia dan Leeds University, maka sangat besar sekali untuk teman-teman disabilitas berprestasi dan berkarya. Dengan semangat yang tinggi dan lingkungan yang mendukung tentunya, maka bukan hal yang mustahil pula menggapai cita-cita. 

Penutup

Kemudian, kita bisa apa nih memangnya untuk turut memutus lingkaran diskriminasi ini? Nah jadi selain memang kita bisa sering-sering mendengar cerita pengalaman nyata, kita juga bisa mengedukasi diri melalui informasi-informasi terkait. Jadi kita juga dapat bertindak bagaimana, misalnya dari hal sesederhana mengganti kata penderita kusta menjadi OYPMK apalagi jika yang sudah sembuh. Tak mengucilkan atau membedakan juga dapat memberikan ruang yang aman sehingga kepercayaan diri akan semakin meningkat. Turut menyebarkan informasi dan edukasi juga dapat dilakukan, misalnya sesederhana membagikan rekaman live talkshow KBR dengan tema terkait.

Demikian ringkasan dan poin-poin mengenai live talkshow yang saya simak kemarin. Untuk teman-teman yang ingin menonton tapi merasa tertinggal, jangan khawatir karena rekamannya masih ada di channel YouTube Berita KBR ya.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya!

Tidak ada komentar

Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.