Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Ada waktu-waktu yang membawa saya
kembali mengingat akan perasaan yang jika diumpamakan, saya selalu berada di
kursi paling belakang. Atau seperti melihat langkah kaki teman-teman begitu
lincah melangkah di depan, sementara saya berada di tempat yang sama. Saya
bukan hanya merasa ketinggalan jauh, namun merasa hampa dan sendirian.
Sementara waktu terus bergulir dan langkah-langkah lainnya sudah dibawa melaju
kereta, saya masih di belakang; sembari hanya melihat.
sumber: unsplash, Jean-Philippe Delberghe |
Di antara masa kecemasan tersebut
yang sepertinya terus akan terus berpola, saya membaca satu caption menarik dari instagram penulis Kalis
Mardiasih berikut:
Siapa tahu MEANINGFUL LIFE atau HIDUP YANG BERMAKNA itu bukan selalu soal apa yang kau lihat dari orang lain: pekerjaan impian, negara yang dikunjungi, atau tokoh yang sudah ditemui. Bagaimana jika, kebangkitanmu dari kegagalan setelah tiga tahun yang kau lalui dengan depresi juga merupakan hidup yang bermakna.
Bagaimana jika, perjuanganmu untuk menuntaskan konflik keluarga belakangan ini juga merupakan hidup yang bermakna. Bagaimana jika, keterlambatanmu dalam mencapai ini dan itu yang membuatmu mengenali apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tak boleh dikerjakan juga merupakan hidup yang bermakna. Bagaimana jika, sesederhana akhirnya kamu bisa punya PENERIMAAN pada kehidupanmu hari ini, setelah sekian lama kamu mempersalahkan dirimu sendiri, juga merupakan hidup yang bermakna.
Selamat, kamu sudah merasakan makna seperti ketika kamu menikmati jeda, lalu pelan-pelan udara menyapu rambut di balik lehermu yang berkeringat. Hari saat kau menyadari dirimu bermakna adalah hari kau punya enerji untuk menghadirkan senyuman kepada sekelilingmu kembali!
Terkadang jika tak sedang overwhelmed, saya bersyukur sampai saat
ini bisa betahan dan bernafas. Ketika menengok kembali ke belakang, ternyata
saya bisa melaluinya—terlepas kala tersebut tak selalu dalam keadaan baik.
Namun awal mula hidup manusia, mana yang mudah-mudah saja? Beberapa mungkin
ada, namun jumlahnya lebih sedikit.
Membaca kutipan di atas selalu memberi
saya harapan, bahwa seperti mereka yang telah dahulu melewati, semuanya akan
baik-baik saja bahkan bertumbuh. Hal
ini mengingatkan saya ketika masih berstatus sebagai adik kelas, saya
membayangkan bahwa Ujian Nasional semenakutkan itu. Ternyata setelah dilalui,
tak semenakutkan seperti apa yang ada di kepala.
Setelah mengalami pengalaman
tersebut, seharusnya bisa membawa bekal keberanian untuk menaiki tangga-tangga
atau membuka pintu-pintu yang lainnya. Pada akhirnya, meskipun tak tahu apa
namanya dahulu, telah berani berjuang untuk diri sendiri untuk bertahan dengan
terus menerus mencari. Petualangan ini menyenangkan karena tak perlu menjadi
sebuah rencana besar pada awalnya, jadi lebih terasa sebagai salah satu bagian
aktivitas hidup. Butuh waktu yang lama bagi saya untuk memahami konsep yang
lebih besar bahwa hidup tak pernah ada rumus pastinya.
Kala kecil kita selalu disarankan
dan diberi panduan ini itu oleh yang berpengalaman misalnya orang tua, saudara,
kakak tingkat, mentor, dan lainnya—hasilnya tak selalu sama, tak selalu bekerja
dengan cara yang sama. Hidup tak sesederhana berusaha kemudian berhasil dan
kemudian tinggal dengan mudah saja melakukan sesuatu dengan otomatis. Ada masa
tersesat terlebih dahulu namun tetap berjalan meskipun belum ada tujuan yang
pasti. Toh, sekecil apapun kita
bergerak tetap juga dinamakan perjalanan bukan?
Hidup selalu memberi saya banyak
tanda tanya dan lebih sering terfokus akan hal-hal yang tak mengenakan. Saya sempat
mengutuk mengapa hidup tak sebegitu menyenangkannya, padahal kita tak bisa
memilih beban masing-masing untuk dibawa. Sama dengan manusia lainnya, ada satu
perjalanan ke perjalanan lainnya yang mana perjalanan dengan diri sendiri lah
langkah-langkah kaki ini akan kembali.
Self-Compassion untuk Hidup yang Seutuhnya
raw pict by: Kelly Sikkema, unsplash. edited by Marfa |
Penerimaan adalah kata sekaligus hal yang paling sulit saya lakukan.
Saya mengetuk banyak pintu untuk mencari jawaban bagaimana agar bisa skip saja berkali-kali, namun saya tak
mendapat jawabannya. Menerima misalnya bahwa diri sendiri memiliki kelemahan
atau kemarahan akibat suatu hal itu tak menyenangkan, prosesnya naik turun.
Tapi, sampai titik mana sih manusia akan terus-terusan denial?
Setelah mengenal konsep self-love, saya mengenal konsep self-compassion yang saya rasa lebih
berterima untuk diri sendiri. Self-compassion
ini menurut saya lebih luas secara keseluruhan dalam hidup dan tentu saja,
dimulai dan ada kata penerimaan di dalamnya. Kata yang sebelumnya, enggan untuk
saya berkenalan.
Self-compassion sendiri jika disederhanakan adalah bentuk welas
asih kepada diri sendiri, atas kegagalan, atas kekurangan, atas ketidakidealan
atau ketidaksempurnaan yang melekat dalam diri maupun yang tindakan dilakukan. Kita
tak asing dengan bagaimana terlalu sering mengutuki diri atas kesalahan atau
kekurangan, yang bisa jusru malah menjadi penyikapan yang tak sehat. Dengan self-compassion, saya pertama-tama
diajak untuk menyadari dan mengakui bahwa ada perasaan yang valid, namun
kemudian dipilah kembali apakah hal tersebut sesuai dengan hal yang sebenarnya.
Welas asih dan penerimaan di sini tak berhenti pada itu saja, namun langkah
awal untuk bertumbuh ke arah yang lebih baik.
Dengan self-compassion, saya juga dapat lebih mengenal diri sendiri dalam
apa yang saya lakukan. Misalnya saja ketika ada pikiran otomatis yang datang,
saat ada perasaan marah atau kecewa yang muncul, dan mengolah kembali kedua hal
tersebut bahwa apa yang ada di pikiran tak semuanya benar adanya. Untuk overthinker yang cenderung fokus ke pikiran negatif (negativity bias)
seperti saya, hal ini sangat membantu. Menyadari
dan menerima, dua kunci utama untuk bekal dapat bertumbuh. Kemudian, saya
mencoba melakukan hal-hal berikut dalam proses self-compassion:
1. Menjadi Teman Baik dan Mentor untuk Diri Sendiri
Kalau mundur ke belakang, rasanya
seperti payah sekali melihat diri sendiri kelimpungan mencari sosok yang dapat
menjadi seorang sahabat baik sepanjang waktu. Nah ini nih yang penting
bagaimana self-compassion bekerja:
menjadi teman dan mentor untuk diri sendiri. Hal ini nggak jauh-jauh dari yang
namanya self-talk atau berkomunikasi
dengan diri sendiri. Ternyata, pikiran yang tugasnya sehari -hari untuk memutuskan
dan memberikan perintah itu perlu untuk diajak bicara dan berdiskusi.
Pikiran perlu dilatih untuk
memilah ulang bagaimana sih ketika sedang tiba-tiba beralih ke pikiran otomatis
seperti overthinking, merasa cemas,
atau merasa nggak layak. Bahkan juga
bukan hanya pikiran otomatis ini yang perlu disadari, namun juga tindakan yang
selama ini bisa jadi tanpa sadar ‘ideal’nya nggak terjadi. Nah, jadi nggak
heran kan kadang kalau tindakan malah jauh bergerak atau merespon sesuai
rencana dalam pikiran. Perlahan-lahan, komunikasi dengan diri sendiri ini
melatih diri untuk lebih memahami bagaimana untuk menyikapi hal-hal di sekitar
termasuk di dalamnya apa-apa yang belum selesai.
Perihal ini saya jadi teringat
kutipan dalam film To The Bone (2017)
yaitu:
“You know how. Stop waiting for life to be easy. Stop hoping for somebody to save you. You don't need another person lying to you. Things don't all add up, but you are resilient. Face some hard facts and you could have an incredible life.”
Menjadi teman yang baik bagi diri
sendiri artinya adalah belajar untuk merangkul diri sendiri yang selama ini
diabaikan dan dinomor duakan. Diri sendiri yang terlalu keras menghardik hanya
pada suatu kesalahan, padahal jika diibaratkan mempunyai teman atau sahabat
yang baik—justru akan ditenangkan untuk tak apa-apa salah dan gagal. Kemudian
dapat menjadi mentor bagi diri sendiri, semacam alarm untuk tak terlalu kendor
maupun terlalu keras bagi diri sendiri. Motivasi dalam diri bukan hanya cukup
untuk direncanakan, namun dirawat agar tak mengalami kegagalan yang sama atau
berulang.
Menjadi teman bagi diri sendiri
juga berguna untuk proses reparenting untuk
inner child, semua orang pasti punya
bukan? Ada sifat-sifat yang suka tiba-tiba muncul tanpa sadar atau tanpa
direncanakan. Merangkul sisa residu masa lalu dan menenangkan ‘anak kecil’
dalam diri terhadap mana saja yang sudah selesai. Hingga pada akhirnya nanti
melihat foto-foto atau kenangan-kenangan di belakang, bukan lagi rasa malu,
marah, atau enggan untuk melihat kembali—namun justru keluar kata-kata:
“Terima kasih diri sendiri di masa lalu, kamu hebat. Saya bangga sekali sama kamu! Yuk bareng lagi ciptakan petualangan-petualangan lainnya”
Pada akhirnya, diri sendiri lah yang menjadi nomor satu untuk yang paling dulu memeluk, merangkul, memberi nasihat untuk jangan, dan menanyakan ulang dengan lembut apa sebenarnya yang diinginkan dalam diri ketika dalam kondisi apapun. Kita sendiri juga lah yang menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan pada diri sendiri untuk keluar melangkah dari keterpurukan.
2. Menulis: Memberi Ruang bagi Diri Sendiri
sumber gambar: Green Chameleon, unsplash |
Untuk terus mengingat bahwa saya
selalu sedang dalam proses, menulis menjadi mediumnya. Di blog ini saya banyak
menulis mengenai perasaan-perasaan yang sifatnya personal, dan beberapa kali
membantu untuk tetap berada dalam jalur. Menulis di blog tanpa perlu memikirkan
keidealan, semacam memberikan perasaan terapeutik di mana saya bebas menjadi
diri sendiri dalam ruang tersebut. Katakan saja saya bebas menjadi apa yang
saya mau dan inginkan tanpa memikirkan hal lain kecuali diri sendiri, sekaligus
menjadi tempat untuk pulang maupun kembali. Terlebih menjadi bonus jika ada
yang turut ikut terbantu dari hasil tulisan itu.
Memberikan ruang yang nggak jauh-jauh
dari self-care ini bentuknya tentu
saja berbeda dari satu dengan yang lainnya.
3. Belajar dari Cerita Pengalaman Manusia Lain
Every story matters, tagline ini pernah saya sematkan untuk
deskripsi di blog dan kemudian dialihkan di bagian sidebar blog. Dari dulu, saya sangat menyukai membaca atau
mendengarkan cerita-cerita kegagalan dari banyak orang dan bagaimana mereka dapat
kemudian menerima kemudian bertumbuh. Nggak perlu tambahan banyak motivasi yang
jatuhnya terkesan toxic positivity, ternyata
memang perihal penerimaan sudah saya kagumi meskipun saya sendiri lama sekali
untuk belajar.
Sampai berada di titik bahwa
dengan terus mencari pengalaman-pengalaman orang dari yang memiliki “beban”
yang sama atau yang berbeda, saya jadi
merasa nggak menderita sendirian. Saya merasa bisa berbagi beban bersama tanpa
harus bertatap muka dengan empunya kisah tersebut. Miracle on people!
Pun sampai akhirnya mengantarkan
titik di mana dengan mengambil banyak perspektif, bisa sekaligus belajar
bagaimana menyikapi sifat egosentris di mana selalu dan selalu merasa beban saya
lebih berat dari teman-teman sekitar. Padahal
kan, kesedihan bukan kompetisi siapa yang paling menderita dan tak
menjadikan saya jadi spesial juga. Membuat saya jadi mempertanyakan ulang juga
bahwa, sampai kapan sih hidup hanya terlalu tentang diri sendiri mulu—selalu ada
lah pastinya hal-hal untuk berkompromi dan diterima. Hal yang paling menyenangkan
sih tentu saja, bisa belajar berempati bahwa setiap orang punya battlenya masing-masing.
Belajar dari pengalaman orang ini
bentuknya macam-macam, bisa ketemu langsung, mentor di komunitas atau kerjaan,
atau sesederhana manfaatin internet aja buat nyari konten yang sesuai kebutuhan.
Sampai pada tahap ini, ada satu channel yang
terus saya ikuti untuk belajar mengenai kesehatan mental, pemahaman diri,
hingga produktivitas. Isi kontennya padat, namun dibawakan dengan cara yang
menyenangkan tanpa menggurui. Beberapa kali jika saya membahas perihal quarter life crisis ini dengan teman,
saya selalu merekomendasikan channel Satu
Persen.
gambar: Satu Persen |
Dari Satu Persen, saya bukan
hanya belajar mengenai cara untuk menuju sesuatu misalnya mengatasi overthinking, ada pemahaman dulu
sebab dan akibatnya sebelum berlanjut ke cara-caranya. Dengan kenal konsep dahulu, jadi kan untuk berproses nggak
ada yang terlewatkan. Saya suka sih sama filosofinya, untuk berkembang
setidaknya Satu Persen tiap harinya. Konten dalam Satu Persen ini vibesnya memang anak muda hingga dewasa
awal sekali dengan membantu menjawab keresahan-keresahan.
Layanan di Satu Persen juga
ada webinar, konseling dan mentoring sesuai kebutuhan misalnya mengatasi stres,
perihal produktivitas, mindfulness,
dan lainnya. Kelihatannya 'sepele' ya, untuk apa sih dipelajari lagi? Kaya baru belajar dan mengenal hidup, tapi
ya memang sih Satu Persen kan membahas secara detail juga mengenai kehidupan
yang nggak diajarin di sekolah formal.
4. Untuk Tetap Terus Menyalakan Cahaya dalam Hidup
Saya teringat di buku Percy
Jackson, ketika tokoh utama tersebut mandi di Sungai Styx dan efek saat berada
di airnya bisa membuat linglung pada diri sendiri—maka disarankan untuk
menempatkan titik rahasia dan ingatan untuk dapat kembali. Percy Jackson akhirnya
mendapat satu nama yang dicintainya dan menempatkan titik ingatan rahasia di
tubuhnya untuk kemudian dapat kembali.
Saya rasapun, manusia juga harus semacam
membuat momen-momen penting kemenangan versinya sendiri yang tak perlu dihitung
atau dilabeli sebagai kemenangan atau bukan untuk selalu menjadi jangkar ingatan.
Ini cukup bekerja di sana, misalnya ketika sedang hampir menyerah pada sedang
apa yang dilakukan—saya mengingat mundur jauh ke delapan saat masih SMP dan
begitu berani mengambil keputusan. Pada akhirnya, ingatan-ingatan semacam
keberanian tersebut memberikan cahaya harapan bahwa hidup semenyebalkan apapun itu, layak untuk dijalani.
5. Bersedih untuk Katarsis Diri
Sebelumnya saya selalu merasa
lemah dan terlalu sensitif jika menangis, padahal menangis adalah salah satu
cara untuk mengeluarkan emosi negatif. Patah hati akan kehidupan, rasa sakit
yang bisa sewaktu-waktu kembali muncul, dan perasaan tak layak untuk dicintai bisa
tiba-tiba datang tanpa permisi. Nggak selamanya kuat untuk dilawan, diterima,
dirasakan dan embrace saja—toh lama
kelamaan juga sadar kalau hal tersebut bukan label untuk diri. Perasaan-perasaan
tersebut normal dan justru tanda bahwa diri sendiri mengizinkan untuk berproses
karena melihat ada yang salah.
Toh juga, di hari pertama kita
mengenal dunia atau dilahirkan, kita dibarengi rasa sakit—perjuangan melahirkan
dari seorang Ibu. Izinkan diri untuk bersedih, izinkan diri untuk gagal, nanti
juga akan selalu gantian dengan rasa lain seperti bahagia, merasa cukup, atau kedamaian.
Hidup itu nggak terdiri dari satu hal aja dan itu juga letak indahnya.
Self-compassion memberi saya arahan untuk lebih arif dalam belajar
menyikapi, merespon, atau memahami saat sedang berada dalam masa-masa sulit. Lagi-lagi
juga jadi menerima dan melihat perspektif yang lebih luas. Juga, untuk nggak
menyerah dahulu kalau emang sebetulnya dari suara dalam ini belum pengin nyerah.
Serta untuk berkali-kali mengingatkan bahwa belum tentu diri sepenuhnya salah,
namun hanya perlu menemukan cara yang lebih
tepat saja. Kuatlah dahulu dari diri sendiri, barangkali dalam prosesmu tersebut
bukan hanya kamu yang bertumbuh namun turut memberikan percikan cahaya untuk
orang lain.
Saya, barangkali masih berada di
bangku belakang—namun sudah diliputi dengan tawa, sudah tak terlalu melihat
lagi perjalanan orang lain, fokus pada perjalanan diri sendiri dan menikmati. Bahkan
sebagai bonus, turut berkenalan kembali dengan penghuni sisi kanan kiri bangku
belakang lainnya yang selama ini luput dalam pandangan. Jadi ngerti juga kalau kebahagiaan itu bukan apa saja yang didapatkan, namun perasaan cukup atau content dalam hidup.
Pada akhirnya kalau udah menerima
apa yang ada dalam diri termasuk kemungkinan-kemungkinan di luar kontrol yang belum
datang, akan lebih mudah juga bagi diri untuk tumbuh dan hidup seutuhnya dengan
menerima hal-hal yang ada di sekitar. Kalau kamu, punya cerita yang ingin
dibagikan juga?
***
P.S: Barangkali kamu ingin
mendengarkan lagu yang cocok dengan topik ini, saya rekomendasikan untuk coba
dengarkan RAN & HINDIA – Si Lemah
#SatuPersenBlogCompetition #HidupSeutuhnya
Hai mbak Marfa, senang baca tulisannya. Aku pernah dan mungkin sedang alami krisis pede dan insecure di usia ini. Seneng menemukan tulisan ini. Thanks for sharing.
BalasHapusAku beberapa kali duduk di bangku belakang dan saat pertama ya rasanya iri dengan yang di depan. Berjalannya waktu, aku lebih menikmati karena ternyata tidak seburuk itu berada di belakang. Hidup memang kaya gitu kan. Nikmati prosesnya dan tetap cintai diri sendiri meski gagal berkali-kali
BalasHapusTerimakasih sudah menulis ini mbak, dariku yang kerap merasa duduk di bangku belakang.
BalasHapusBerdiskusi dengan pikiran dan diri sendiri, sesuatu yang sepertinya harus sering-sering kulakukan agar ia tak terlalu liar dan ujung-ujungnya melukai perasaan sendiri.
Beberapa waktu lalu, saya berada dalam kondisi merasa tertinggal, hanya jadi penonton orang lain yang terus melaju, pandemi datang dan boom kehidupan meledakkan, dan sekarang saya sedang dalam tahap penerimaan, baru tahu istilahnya self compassion, proses yang saya alami tidak mudah tapi terus mencoba untuk bisa menerima semua kekurangan diri dengan lapang dan melimpahi diri dengan cinta yang besar
BalasHapusTulisan mbak marfa seolah mengingatkan aku untuk lebih menyayangi diriku lebih baik. Dan yeahhh menemukan sahabat baik memang gak mudah ya
BalasHapusSelamat dan terus mengenal diri sendiri yang tak ada batasnya, Marfa. Semoga kamu semakin memahami dirimu sendiri dan mencintainya ya. Selamat bertumbuh. :)
BalasHapusPoin kelima soal bersedih sebagai katarsis diri ini aku setuju banget sih. Baru beberapa tahun belakangan ini aku menyadari bahwa kesedihan memang perlu hadir. Adanya membawa arti lebih malah. Menguras segala emosi negatif untuk kemudian membawa kembali senyum dan semangat yang sempat terpinggir.
BalasHapusMencintai diri sendiri... itu kadang dilupakan sebagian orang. Welas asih pada diri sendiri agar bisa hidup lebih bermanka.
BalasHapusOh iya, saya sudah kepoin SatuPersen. Memang menarik sekali
Terkadang kita perlu mengapresiasi diri sendiri, ya. Temukan kekurangan diri dan bersahabat dengannya, memberi ruang untuk menyepi sendiri dan memberi penghargaan pada diri sendiri dengan memberi hadiah atau melakukan yang yang menyenangkan diri sendiri
BalasHapusTernyata relate dengan konsep minimalism yang sedang aku pelajari juga nih. Terimakasih pencerahannya, mbak.
BalasHapus