Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Halo, apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan content, ya!
Beberapa tahun ke belakang lebih concern ke mental health, saya jadi tahu kalau strategi coping ini terdiri dari dua macam yaitu problem-based coping dan emotion-based coping. Selama ini memang sudah lebih mengenal ke antara dua pilihan tersebut, namun mindset kala itu masih berupa pilihan mutlak. Apakah pilihannya harus jatuh fokus pada masalah atau penanganan pada emosi terlebih dahulu.
Strategi Coping Dalam Menghadapi Masalah
Pun dahulu saya kira, dalam menghadapi suatu tekanan dan masalah itu pilihannya harus salah satu di antara keduanya dan mendefinisikan siapa diri kita. Bahkan dulu saya sempat berpikir kalau fokusnya ke masalah artinya lebih baik dari pada fokusnya ke emotion-based coping. Padahal manusia itu individu multidimensi yang kompleks. Antar individu nilainya tidak bisa berdiri secara utuh secara keseluruhan dengan dibandingkan antar individu lainnya.
Maka dari itu memang penting sekali untuk mengenali diri sendiri, tak hanya sekali namun berkali-kali. Hal itu ya karena diri manusia ini berlapis. Makanya terkadang ada sisi yang baru kita ketahui, entah sisi yang ternyata membanggakan karena ada potensi dan kepercayaan diri atau sisi dengan sifat-sifat negatif yang ternyata melekat. Keduanya bisa berjalan berdampingan, ada yang harus dikurangi, dihilangkan, atau bahkan diatur karena tak semuanya hitam-putih.
Apa Itu Emotion-Based Coping dan Problem-Based Coping
Balik lagi ke bahasan awal tadi yaitu coping, sebenernya sudah bisa dilihat dari namanya. Secara singkat, kalau problem-based coping ini ya lebih langsung menghadapi masalah yang ada di depan mata dan dilakukan dengan tindakan selama hal tersebut bisa diubah. Sedangkan kalau emotion-based coping ini lebih ke menyelesaikan dahulu emosi-emosi yang ada dalam diri.
Kalau yang emotion-based coping ini nggak semata perihal perasaan dan emosi per se, namun sebetulnya bisa lebih dalam. Bisa dilihat dari pola kalau menghadapi masalah tipe yang sama, kecenderungannya apakah menghindar, apakah panik, apakah menunda-nunda. Bisa jadi akar masalahnya itu ada di dalam diri namun belum atau enggan digali. Apakah memiliki luka, trauma, atau ada sisi inner child yang mengelak.
Jadi sebaiknya diberesin dulu tuh luka-luka tersebut biar bisa fokus ke problem-based coping dengan lebih baik. Bukan berarti nggak bisa langsung fokus ke masalah ya, namun memang aspek emotion-based ini jangan juga dilewatkan. Justru akan lebih efisien jika kombinasi antara keduanya nantinya. Kemudian, emotion-based coping ini juga digunakan kalau misalnya situasi yang ada berada di luar kendali dan tak bisa diubah. Misalnya ada anggota keluarga yang berpulang, hasil wawancara tak sesuai, nilai ternyata jauh dari harapan, dan sebagainya.
Bentuk dari emotion-based coping ini tentu saja berkaitan dengan apa yang kita suka, yang kiranya melegakan di diri. Misalnya dengan tidur terlebih dahulu, menuliskan perasaan di jurnal, menonton drama atau film kesukaan, mandi air hangat, atau bahkan menuntaskan menangis. Tapi inget, habis itu langsung fokus pada apa yang sebaiknya dilakukan. Hal itu karena jika dibiarkan, ya tak akan ke mana-mana juga. Coping secara emosi ini juga jangan yang sifatnya destruktif ke tubuh ya, bukannya menyelesaikan masalah malah nambah nantinya.
Bagasi Emosi dan Pengertiannya
Nah dari bahasan emotion-based coping ini, merembetlah jadi tahu ke istilah bagasi emosi atau emotional baggage. Sebelum beranjak ke bahasannya, kita pendahuluan dulu nih. Dalam hidup, kita pasti bakal bertemu dengan yang namanya keraguan, rasa bersalah, dan penyesalan. Namun hal tersebut akan menjadi masalah jika ukurannya makin membesar, makin memberatkan langkah bagi diri, dan kita makin nggak nyaman sama diri sendiri. Hal unsolved ini nih yang nantinya jadi bagasi emosi.
Bagasi emosi adalah emosi-emosi negatif dalam diri yang belum diproses dan berasal dari masa lalu. Penyebabnya bisa dari luka atau trauma masa kecil, pernah mengalami kekerasan, atau mengalami pengalaman negatif. Bagasi emosi sendiri bisa dikatakan sebagai kumpulan beban emosional. Nah kemudian apa yang terjadi jika tidak diproses? Well, pengaruhnya tentu saja ke diri sendiri di masa kini baik tindakan, pikiran, maupun perasaan. Dari sini juga tentu saja cepat atau lambat akan berimbas pada hubungan, pertemanan, keluarga, maupun karir. Makanya ada ungkapan seperti ini:
“If you don't heal what hurt you, you'll bleed on people who didn't cut you.”
Bagasi emosi ini tidak baik jika terus dipendam nggak kunjung coba untuk disembuhkan, atau lama memilih dalam keadaan denial karena menghindari rasa sakit yang bagaimana tingkat rasa sakitnya tidak bisa kita ukur. Memproses hal seperti ini juga nggak cepat ya, memakan waktu bertahun-tahun entah untuk menunggu kita cukup siap atau lebih kuat dalam menghadapi hal tersebut. Proses penyembuhan atau penyelesaian juga tentu saja nggak instan. Namun ada baiknya kita self-aware dahulu, apa sih bentuk bagasi emosi yang kita bawa-bawa ini.
Jenis-Jenis Bagasi Emosi
Untuk nantinya bisa dielaborasi dan diproses, berikut beberapa tipe dari emotional baggage:
1. Guilt (Perasaan Bersalah)
Guilt atau perasaan bersalah ini mengacu pada perasaan khawatir atau ketidakbahagiaan dikarenakan perbuatan yang dilakukan di masa lalu. Akibat dari perasaan guilt ini jadi mempengaruhi di masa sekarang. Misalnya dari biasanya kita berespon apa pada suatu kejadian, namun jadi berbeda karena didasari guilt ini.
Mengatasi perasaan bersalah ini kita harus sering-sering self-talk dan mencari akarnya. Terkadang karena terlalu lama diproses juga bisa menyebabkan bias, di mana apa yang ada di pikiran jauh lebih parah dari pada kejadian asli sebenarnya. Belajar untuk mulai memaafkan dan berani mengambil langkah yang diperlukan serta pertimbangannya.
2. Regret (Penyesalan)
Penyesalan ini merujuk pada perasaan kesedihan akan kesalahan yang diperbuat di masa lalu, atau pengharapan yang seharusnya bisa berbeda atau lebih baik. Penyesalan membuat pikiran terus berandai-andai agar hal tersebut sebisa mungkin tidak terjadi, pun sebenarnya tidak mungkin. Rasa menyesal ini mempengaruhi hidup saat ini karena terus menghantui, seakan jika memilih opsi lain di masa lalu hasilnya akan lebih baik.
Penyesalan membuat diri kita terkurung di masa lalu walaupun hidup di masa kini. Tanpa mereduksi perasaan yang dialami, sejatinya semua manusia sampai pada di sini merupakan hasil dari keputusan-keputusan. Ada keputusan yang mengantarkan kita terhadap hal yang kita ingin, namun ada juga yang sebaliknya. Terus-terusan tenggelam pada perasaan penyesalan ini tak akan mengubah hal menjadi berbeda. Sebelum menyesal karena tak segera hidup sepenuhnya di masa kini, sudah waktunya mengambil langkah pertama.
3. Inner-Criticism (Kritik Dalam Diri)
Kesadaran dalam mengenal diri sendiri itu bagus, namun jika penilaiannya berlebihan bisa menjadi boomerang. Sebagai manusia, kita memiliki pikiran yang tendensinya untuk selalu bisa berubah ke arah yang lebih baik. Namun ketika patokannya pada membanding-bandingkan, maka penilaian terhadap diri juga akan selalu buruk.
Inner critic ini bisa menyabotase diri sendiri (self-sabotage) untuk mendapatkan hal yang lebih baik. Kita terus-terusan merasa kurang terhadap penampilan, kemampuan, kondisi tubuh sehingga menciptakan perasaan tidak layak. Lepasakan perasaan ini sebelum menimbun terlalu banyak kekhawatiran, karena untuk memulai satu langkah pertama rumusnya bukan kesempurnaan.
Sadari bahwa terkadang pikiran kita bisa menipu diri sendiri, lebih menakutkan yang ada di kepala dibandingkan aslinya. Memisahkan antara diri sendiri dan pikiran terlalu mengkritik ini memberikan kita ruang untuk mengenali, apa yang sedang coba disampaikan dan apa yang lebih baik dilakukan. Jangan biarkan inner-criticism ini justru menguasai emosi dan mengatur perilaku kita sendiri.
4. Loss (Kehilangan)
Kehilangan membawa kita dalam keadaan berduka atau grief. Perasaan kedukaan ini tak terbatas karena kehilangan dari kematian orang terdekat saja, namun bentuk lainnya seperti hubungan, pekerjaan, kesempatan, sampai kondisi kesehatan yang membawa luka yang besar berbeda pada setiap orang.
Proses kedukaan ini dapat membuat seseorang menjalani hidup dengan lebih lesu, motivasi berkurang, hingga tingkat kepercayaan diri yang menurun. Memproses kedukaan menurut ahli Kubler-Ross memiliki 5 tahap yaitu penolakan, rasa marah, penawaran (bargaining), keadaan depresif, dan penerimaan. Proses kedukaan bagi setiap orang ini berbeda, tidak selalu urut, dan proses satu ke yang lainnya berbeda juga jangka waktunya.
5. Resentment (Kebencian)
Untuk konteks dalam bagasi atau beban emosi ini, kebencian merujuk dari nasib, hidup, dan latar belakang. Dalam hidup, memang tak semuanya orang beruntung memiliki privilege. Rasa benci akan ketidakadilan dalam hidup ini justru sebetulnya akan "memakan" diri sendiri alih-alih hidup beralih ke kehidupan ideal.
Melatih rasa syukur dengan rutin bisa menjadi langkah awal meredakan rasa kebencian ini. Ketika kita tidak bisa mengubah hal-hal di luar kendali ini, kita masih bisa mengubah pola pikir. Lagi-lagi, jenis kehidupan mana yang akan kita pilih untuk dijalani.
6. Rejection (Penolakan)
Kejadian penolakan dalam hidup memang membawa kita terhadap pengalaman negatif. Penolakan tersebut dapat dari orang tua, atasan, dan lainnya yang awalnya menjadi pengharapan bagi kita. Efek dari penolakan ini membuat diri ragu-ragu dalam mengambil keputusan, memicu fixed mindset karena merasa kita selalu tidak beruntung, dan selalu menjadikan pendapat orang lain sebagai tolok ukur.
Menghadapi penolakan ini perlu melatih self-compassion atau welas asih terhadap diri. Self-compassion memberi kita ruang untuk menghargai diri sendiri tanpa penghakiman, otomatis tanpa perlu dibanding-bandingkan juga.
7. Fear (Ketakutan)
Ketakutan dalam bagasi emosi di sini merujuk pada rasa takut sesuatu yang buruk akan terjadi, akibat dari pengalaman masa lalu. Misalnya menunda-nunda mengerjakan skripsi karena takut tulisannya dinilai buruk, padahal ketakutan tersebut hanya ada di pikirannya. Atau takut belajar mengendai sepeda motor karena pernah terserempet kendaraan.
Jawaban dalam menghadapi ketakutan, tak ada yang seefisien dari pada berkenalan pada apa yang membuat diri takut itu sendiri. Bisa saja menggunakan pengalih dengan tak perlu berhadapan dengan rasa tak nyaman, namun bentuk ketakutan itu justru akan tetap di sana. Libatkan bantuan orang lain dalam proses ini, misalnya tenaga profesional atau support system dalam proses mengubah persepsi dalam ketakutan ini. Sebagai ilustrasi, sebenarnya ketakutan sebenarnya bisa jadi seperti ini:
credit: @AlexMaeseJ |
8. Psychological Trauma (Trauma Psikologis)
Beban emosi juga berbentuk dalam kondisi trauma psikologis dan sifatnya lebih serius karena efeknya selain di pikiran juga respon tubuh. Efek trauma meliputi banyak hal mulai dari mimpi buruk berulang-ulang, pengaruh terhadap kualitas makan dan tidur, pengaruh pada proses kognitif, dan ketidakstabilan emosi. Keadaan ini misalnya memiliki PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder dan perlu konsultasi dengan ahli seperti psikiater dan psikolog.
***
Jika diibaratkan secara harafiah, kita akan terbebani jika membawa muatan bagasi atau ransel yang banyak. Betul bahwa kita bisa kuat menahan, namun apa sudah siap juga jika di depan ada hal baru yang kita hadapi sedangkan kita belum selesai dengan diri sendiri? Menghadapi bentuk bagasi emosi dalam diri memang tak menyenangkan, namun membawanya dan berusaha menutupi dengan berpura-pura tak ada juga hanya menciptakan kedamaian semu. Tinggal memilih "rasa tidak nyaman" mana yang akan dijalani.
Poin penting juga untuk coba mengubah persepsi sebagai korban. Dalam realita, memang bisa jadi kita adalah korban sehingga harus membawa beban emosi ini. Namun ketika menggeser sedikit saja, maka fokus bukan lagi menyalahkan keadaan atau penyebab melainkan terhadap langkah yang kita ambil. Coba untuk berhenti blaming terhadap keadaan maupun terhadap diri sendiri. Pengalaman negatif yang dirasakan ini justru menyiratkan apa yang sebaiknya kita lakukan alih-alih berpura-pura tidak ada.
Identifikasi dan beranilah untuk berkenalan dengan masalah yang ada dalam diri. Belajar untuk melepaskan apa-apa yang menghambat, dan catat perjalanan healing ini. Konsultasi dengan konselor atau psikolog juga bisa menjadi opsi untuk memetakan masalah, pola, dan akar masalah. Mendapat masukan dari orang lain yang ahli bisa membuka pandangan yang baru pada hal tersebut.
Untuk menuju wellbeing yang lebih baik, semoga muatan bagasi emosi semakin berkurang dan langkah ke depan jadi lebih ringan, ya! Semoga artikel ini dapat bermanfaat!
===
Tidak ada komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.