Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Halo, apa kabar?
Isu mengenai literasi saat ini
santer dibicarakan dan seakan tak ada habisnya, seperti halnya dengan
permasalahan sampah yang juga sama-sama ramai. Kedua hal tersebut sama, yaitu
terletak pada kebiasaan, dan kebiasaan itu sendiri budaya yang sulit untuk
dilakukan. Di kalangan saya saja yang mayoritas mahasiswa dengan seluruh
dunianya, label manusia intelektual tak menjadikan seluruhnya paham akan budaya
literasi maupun sesederhana membuang sampah di tempatnya saat berada di bioskop
maupun rumah makan.
pict: Pixabay, AlexMile |
Kedua isu ini juga kemudian
menjadi solusi yang diambil melalui program di komunitas-komunitas,
kampanye-kampanye di media sosial, dan agenda-agenda rutinan lainnya. Tapi kok,
ada saja permasalahan yang sama dan menahun, di situ-situ saja dan tak beranjak
meskipun dengan usaha sebanyak itu dalam ranah yang dipecah menjadi
kecil-kecil. Untuk melakukan perubahan yang besar dan berdampak, saya jadi
memabayangkan negara menerapkan sistem sendiri seperti misalnya wajib membaca
atau denda dalam pembuangan sampah secara sembarangan. Namun, masa sih kita tuh
terus-terusan harus bergantung pada negara? Kok, di mana kemandirian dan
inisiatif yang sebenarnya semua orang punya itu? Lagipula, negara ini demokrasi
dan bebas melakukan pilihan, yang mana hal-hal semacam ini seharusnya datang
dahulu dari kesadaran bersama.
Saya menjadi menelaah dan mencoba
mencari titik awal di mana seharusnya fokus yang sebaiknya dimulai untuk
dibenahi. Berada di lingkungan sastra pun, masih sedikit saya temui kebiasaan
membaca secara konsisten. Agak terbelalak juga ketika kecakapan kritis
menghadapi permasalahan sosial masih kalah dengan mahasiswa yang berasal dari
eksakta seperti biologi dan perikanan. Kuliah dengan waktu yang lebih fleksibel
dari sekolah, dan memiliki kebebasan mengatur waktu namun luput untuk
pentingnya membiasakan membaca.
Mengapa hal ini dapat menjadi
masalah seperti bola salju? Tentu saja selama ini yang ramai dibicarakan
mengenai literasi hanya sebatas kemampuan akan mengolah informasi baik dalam
teks maupun visual dari kebiasaan membaca atau yang biasa disebut dengan
literasi baca tulis. Padahal, literasi itu sendiri banyak macamnya seperti yang diambil dari #SahabatKeluarga ini yaitu:
imgsc: sahabatkeluargakemdikbud |
Urgensi inilah yang kemudian
menjadi suatu keresahan, bagaimana sebaiknya mengajak tanpa harus membuat
merasa dibandingkan atau terhakimi akan pilihan masing-masing individu. Saya
mencoba mencari pola dalam lingkungan kerja dengan budaya startup di kota kecil bernama Purwokerto. Di budaya kerja tersebut,
bukan hanya kecepatan dan tuntas dalam mengerjakan pekerjaan—namun juga
lingkungan dengan kebiasaan yang produktif yaitu membaca. Kala ada waktu
senggang, para mentor biasanya membuka diskusi dengan mengeluarkan buku-buku manajemen.
Buku yang ilmunya tak akan ditemui di teori-teori perkuliahan. Ada waktu di
mana saya terbengong-bengong bersama mahasiswa lain saking takjubnya. Betapa
sebanyak apapun yang saya tahu, masih lebih banyak hal yang saya tak tahu.
Kasus di atas, memang dikatakan
sebagai kebutuhan agar bisnis berjalan lancar namun ada yang lebih penting dari
itu—yaitu mental yang dibentuk. Para mentor dengan segudang pengalaman dan
keahlian, menjadi pembicara dan trainer di
sana-sini saja masih membiasakan dengan membaca buku. Dari kebiasaan
tersebutlah, saya jadi dapat membedakan karakter orang bagaimana yang
benar-benar terliterasi dan mana yang kurang. Pengambilan keputusan, cara
memimpin, cara berinteraksi dengan orang lain dapat terlihat bagaimana karakter
berwibawanya.
Saya memperkecil lagi kebiasaan
terliterasi ini dengan sesi berbagi dengan Annisa Dwiana Putri, Presiden Genbi
(Beasiswa Bank Indonesia), Inisiator @temanbelajarproject, dan delegasi KKN
Kebangsaan 2019 dari universitas saya. Setelah menyebutkan alasan-alasan
mengapa memilih kuliah dengan segudang aktivitas di luar, Annisa dengan
antusias memberikan kebiasaan membaca dan tema yang biasa dibaca adalah
pengembangan diri. Annisa juga menjawab bahwa kebiasaan membaca diterapkan
sejak kecil.
Saya persempit lagi dengan diri
saya sendiri, jauh ke masa lalu. Saya berasal dari desa, yang percaya bahwa pendidikan
sebegitu pentingnya untuk masa depan seorang perempuan. Saya memulai pendidikan
TK dan SD menjadi anak yang pendiam dan menghabiskan bacaan apa saja yang ada
di buku ataupun potongan koran. Menjadi anak yang antusias ketika ada guru yang
bertanya mengenai isi buku pelajaran, yang mana saya sudah baca terlebih dahulu
sebelum-sebelumnya.
imgsc: NatashaG pixabay |
Saya juga ada pengalaman unik
mengenai bacaan. Kala menjadi siswi SMK, saya mulai menyukai Harry Potter
dengan segala koleksinya, terutama buku. Hal tersebut saya beli secara
sembunyi-sembunyi, hingga akhirnya diketahui oleh orang tua dan mendapat
teguran. Bahwa bacaan semacam Harry Potter itu menomorduakan Tuhan, takut saya
menjadi tak taat agama dan lain-lain. Saya membayangkan jika saat itu saya
menghentikan kebiasaan membaca fiksi, mungkin saya tak akan duduk di bangku
perkuliahan semacam ini. Tentu saja, dari sini saya mendapat insight bahwa budaya dalam keluarga, ternyata
menjadi kunci penting dalam berliterasi.
Orang-orang desa yang minim
fasilitas tak akan paham pentingnya bacaan. Orang tua saya saja misal, tak
pernah membiasakan saya untuk membaca namun untuk selalu belajar. Latar
belakang, keyakinan yang dianut, serta pengalaman pendidikan menjadi faktornya.
Ya, faktor ekonomilah yang membuat adanya keterbatasan-keterbatasan itu.
Seiring waktu berjalanan, saya meyakinkan orang tua saya bahwa bacaan-bacaan
saya baik, atau saya bisa mengimbangi. Hasilnya, dengan berbagi seperti itu
saya jadi memiliki koleksi buku hingga sekarang, dari yang dulunya jangankan
lemari yang berisi buku—kosong tanpa koleksi. Tiga tahun setelah kejadian
dimarahi karena takut menyimpang keagamaan, suatu pagi saya pernah ditunjukan
sosok JK Rowling dalam televisi. Orang tua saya, kagum akan kesuksesan dan
kedermawanan penulis Harry Potter tersebut.
Hal di atas juga yang membuat
saya tertarik untuk menambah ilmu mengenai parenting dan pernikahan meskipun
belum akan menikah. Bayangkan saja, sekarang mengetahui ilmu-ilmu dahulu
kemudian dapat diaplikasikan di masa depan. Saya kira, generasi milenial juga
akan menghadapi masalah-masalah dengan cara-cara yang baru juga di masa depan.
Kemudahan informasi dan akses menjadi faktor pendorong serta tools dalam membiasakan budaya literasi
ini.
Seorang anak tak bisa memilih
orang tua mana mereka berasal, namun generasi muda milenial yang nantinya akan menjadi
orang tua dan mempunyai anak dapat menjadi orang tua terbaik bagi anaknya
kelak. Kita dapat belajar dari banyak pengalaman-pengalaman cerita orang
sebelumnya, dari kisah-kisah kesuksesan. Pengalaman-pengalaman ini juga
seringnya tertulis dalam bentuk teks—lagi-lagi kebiasaan membaca. Alasan
mengapa keluarga menjadi pondasi yang paling penting dalam budaya literasi
adalah tentang ikatan dan ingatan. Kita bisa melihat para pemimpin, pebisnis,
inisiator, dan lain-lain dapat melonjak sukses karena kesempatan memiliki
kebiasaan membaca sejak kecil. Tokoh-tokoh dunia juga turut menghiasi
pentingnya kebiasaan membaca ini seperti Bill Gates, Warren Buffet, Elon Musk, dan
Mark Zuckerberg.
imgsc: pexels.com |
Dalam asumsi saya, menggunakan
analogi seperti ini. Seseorang akan lebih berani berbicara jika ia tahu dan
paham akan suatu hal. Otomatis juga, keberanian tersebut akan turut mengikuti,
jadi berpikir dahulu sebelum berbicara bukan sebaliknya. Orang-orang ini
memiliki kecenderungan untuk memimpin sebuah tim, untuk bekerja sama dan
berkolaborasi yang kemudian akan membentuk budaya di sekitarnya. Untuk lebih
mudahnya, taruhlah budaya dalam ranah profesional. Otomatis, orang-orang di
sekitarnya akan ikut terpengaruh positif juga. Inilah yang menjadi kunci,
bibit-bibit inisiator—yang berangkat dari akumulasi kebiasaan. Budaya baru
menimbulkan inovasi, ide kreatif yang diwujudkan dalam eksekusi. Muncullah,
aneka ragam solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar.
Bukannya, jika SDM unggul dan berkualitas ini juga akan menular? Saya
membayangkan inisiator karena akan berdampak lebih luas dan langsung, membangun sekaligus
mempengaruhi. Hal tersebut apabila jika dibandingkan dengan influencer
saat ini yang hanya terbatas pada memberikan pengaruh melalui medium.
Cara Membangun Kebiasaan Berliterasi dalam Keluarga
Namun sebelum berangkat jauh ke
sana dan agar harapan tak menjadi utopis, ada beberapa ide yang bisa diterapkan
dalam bagian terkecil sebelum terjun dalam masyarakat yaitu keluarga.
1. Menciptakan Kebiasaan yang Konsisten dan Progresif.
Membaca itu bukan hanya perlu
waktu, namun kesiapan berpikir untuk mencerna. Dari mentor-mentor saya yang
minimal membaca 10 lembar perharinya, taruhlah jam khusus untuk membaca. Metode
ini akan berbeda bagi satu dan yang lainnya, namun bagusnya dilakukan saat golden hour. Kalau golden hour saya adalah pagi setelah mengerjakan ibadah, kemudian
dilanjut melalukan permulaan hari seperti menata ulang jadwal, dan membaca
buku. Mengapa membaca buku dan bukan artikel atau digital saja? Karena membaca
tanpa distraksi akan lebih mudah dalam mencerna.
2. Memilih Jenis Buku sesuai Tingkatan Usia.
Satu yang perlu diperhatikan dari
budaya membaca ini adalah bacaan itu harus bertingkat. Misalnya saat anak
memasuki SMP bacaanya tak akan sama lagi dengan bacaan kala SD. Ini perlu
karena otak perlu dilatih cara berpikirnya dan cara berpandangnya. Sepengalaman
saya, kala memasuki kultur budaya kerja akan lebih banyak membaca buku-buku
manajemen. Jenis buku-buku pengembangan diri yang biasanya saya baca sudah tak
lagi relevan jika ingin bergerak lebih cepat. Apalagi buku fiksi, ada
tingkatannya lagi dari buku fiksi berjenis sastra dunia, Indonesia, atau
penulis muda lokal yang sedang bertumbuh. Genre buku, sebaiknya disesuaikan
dengan usia dan kebutuhan.
3. Berbagi Mengenai Buku yang Telah Dibaca.
Belajar dengan metode diskusi dua
arah akan lebih terlihat hasil dan perkembangannya dari pada hanya metode satu
arah atau aktif-pasif. Seorang anak di masa belianya cenderung kurang memahami
teks-teks berbentuk pengalaman dan nilai moral di dalamnya sebelum mengalami
sendiri pengalaman tersebut. Buku kan bukan hanya bisa memberikan perspektif
atau cerita inspiratif, namun bisa juga preventif tentang apa saja yang
sebaiknya dihindari. Di sinilah letak berliterasi akan terjadi, bukan hanya
sebatas membaca.
4. Membuat Jurnal Harian atau Ulasan Mengenai Buku.
imgsc: pixabay |
Yang saya pelajari dari mentor
adalah selalu membuat jurnal atau ulasan singkat tentang buku yang telah dibaca
dan biasanya dikaitkan dengan dengan pengalaman atau isu yang sedang terjadi.
Ulasan ini membantu mereka mengingat ide dan juga ajang diskusi bagi pengguna
media sosial lainnya. Dari bacaan buku saja yang diulas, dapat terjadi transfer
ilmu. Begitu juga dengan banyaknya buku yang dibaca, untuk mengingat akan lebih
baik menulis dalam bentuk jurnal. Tak perlu panjang lebar, bisa berupa
rangkuman atau bagian-bagian yang penting.
5. Menciptakan Variasi dalam Berliterasi.
Membaca banyak buku bukan berarti
akan menentukan apakah individu akan semakin cerdas atau lebih unggul dari yang
lainnya. Justru, jika tak ada filter fokus akan jumlah banyaknya buku akan
kesulitan bagaimana mengambil perspektif yang seharusnya. Coba melakukan
variasi dengan mendengarkan bahasan versi audiobook,
atau akun-akun podcast bertemakan
tentang buku.
6. Mengajarkan Anak untuk Menulis Ilmiah Karya Tulis.
Menulis ilmiah akan jauh berbeda
dengan hanya menulis resensi, ada aturan dan kaidahnya tersendiri. Belajar
menulis ilmiah akan membantu kegiatan akademik dalam penerapan teori, dan
memisahkan mana seharusnya dengan tulisan-tulisan yang sifatnya lebih bebas.
Mengajarkan menulis ilmiah sejak dini, akan membantu bukan hanya tugas-tugas
akademik namun juga pembuatan proposal penelitian, proposal kreativitas, dan
pembuatan esai. Tulisan akan mencerminkan bagaimana penulis telah terliterasi dan indikator perkembangan dari #LiterasiKeluarga
7. Ajak Anak Mengikuti Kegiatan Bertemakan Literasi.
Kegiatan membaca memang akan
membawa individu banyak menemui perspektif dan pengetahuan tanpa harus keliling
dunia. Namun buku-buku itu membebaskan, bukan menjadi penjara. Sekarang,
terutama di area Jabodetabek seringkali ada acara atau agenda bertemakan
literasi mulai dari usia sekolah hingga penulis-penulis muda. Mulai dari
festival, workshop, hingga inkubasi
pembuatan buku oleh calon-calon writerpreneur.
Mengajak anak ke kegiatan literasi akan menumbuhkan rasa semangat dan
menambah rasa keceriaan akan bentuk dari acara tersebut. Selain itu, juga bisa menumbuhkan ikatan antar anggota keluarga.
8. Jangan Lupa Memberikan Apresiasi.
Ide-ide sebelumnya terdengar
melelahkan, apalagi jika diterapkan pada anak. Namun jika sudah dibiasakan maka
dapat menjadi otomasi atau berjalan sendiri. Memberikan hadiah atau apresiasi
akan membuat anak semangat dan tak merasa harus terlalu mengikuti aturan.
Saya percaya bahwa peran keluarga
dapat menjadi titik balik seorang anak akan bertindak dan mengambil suatu
keputusan. Jika dari bagian terkecil saja sudah memiliki kesadaran, maka
kepentingan bersama akan lebih mudah dalam menjalankan tujuan bersama. Keluarga
di sini tentunya sangat berperan dalam membentuk budaya literasi menuju
generasi bangsa yang unggul dan berkualitas. Bukan hanya cerdas dalam bidang
akademik, namun juga memiliki sifat-sifat luhur seperti jujur, empati, dan
mempunyai kontrol atas dirinya sendiri. Saya penasaran juga bagi pembaca yang
sudah berkeluarga dan membudayakan literasi, boleh juga lho saling berbagi
pengalaman di sini.
***
Membaca itu memang sangat penting nih ya Mbak. Selain itu juga bisa menambah pengetahuan
BalasHapusBetul jika ditingkatkan skillnya wah luar biasa efeknya :)
HapusTarget memang, setidaknya satu Minggu baca satu buku untuk literasi
BalasHapusYes, aku juga ditarget biar nggak cuma nurutin mood aja :)
Hapusmengenalkan pemahaman kita terhadap literasi kepada anak memang sangat penting untuk membuat anak jadi rajin membaca
BalasHapusBukan hanya rajin namun juga aplikatif :)
HapusIndonesia pasti bisa menjadi masyarakat atau warga literasi apabila membaca buku minimal 1 buku 1 hari ataupun 1 minggu 1 buku saja, yang penting rajin membaca dan menulis
BalasHapusYes, harusnya bisa belajar dan berkaca :D
HapusTahu kan,betapa pentingnya literasi untuk diri sendiri dan orang lain, literasi untuk anak dan keluargaa, artikelnya sangat lengkap kak trimakasihhh
BalasHapusSemoga bermanfaat ya :)
HapusBetapa banyak yang saya tahu, masih banyak hal yang belum saya tahu. Uhh ini bener banget mbak
BalasHapusSepenting itu memang literasi yang emang perlu dikenalkan apalagi sejak dini.
Artikelnya kerenn Mbak
TFs. Yahh
Betul kak, membaca cara mudah, enak, buat melihat pengalaman
HapusMengajak anak pada kegiatan bertema literasi buat aku masih jd Pr nih, karena kegiatan semacam itu belum banyak disini, jadi harus inisiatif emaknya sendiri
BalasHapusHihi, bisa dibiasakan di rumah dulu kak, nanti semoga dari pemda ada juga ya :)
HapusKepengen dah kelak mendidik anak agar menjadi penerus Habibie yg peduli dg ilmu pengetahuan tapi tidak meninggalkan ilmu agama.
BalasHapusBetul, imbang semuanya :)
HapusAku dulu suka banget pelajaran Bahasa Indonesia. Lalu beli buku itu termasuk hal yang istimewa. Jadi dulu ya ngandalin pinjam buku di perpus dan kebanyakan sastra lama. Tapi ternyata aku paham juga
BalasHapusWih menyenangkan dong kak sudah baca dari dini hehe
HapusMembaca Memeng gudangnya ilmu, keren bgt mba semua ulasan di atas betapa pentingnya literasi.
BalasHapusSemoga bermanfaat kak Eny :)
HapusBagi aku sebagai seorang penggiat literasi harus mengusahakan membaca buku entah apapun itu genrenya. Sesekali share di media sosial akan apa yang dibaca. Minimal quote nya sih.
BalasHapusWah menyangkan pasti pengikut mba Tika :)
HapusLebih suka buku sih ketimbang ebook.
BalasHapus.tapi kalo buku pada gak mau bagi orang-orang.
Kalau ebook, mau lah di bagi.
Intinya suka deh baca.😁
Kalau ebook enaknya teori bisa langsung nyari keyword, kalau buku untul fokus menyeluruh :D
HapusMengenalkan literasi sejak dini itu penting. Yaaaa harus dididik untuk suka baca buku sejak kecil. Supay wawasannya luas. Otaknya berkembang
BalasHapussetuju sekali kak :)
Hapuswah literasi memang harus dibudayakan. bahkan sejak dini. karena akan menjadi bekal yang baik utk kedepannya
BalasHapusbenr sekali, kebiasaan :)
Hapus