Beberes, Momen Sentimentil, dan Berbicara Pilihan

Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Halo, apa kabar?

Pagi ini saya mengawali hari dengan...membereskan ruangan kamar. Suatu hal yang tidak umum karena biasanya jadwal beberes kamar itu weekend dan hanya dilakukan mulai dari sore hari. Hal tersebut karena akhirnya saya notice sesuatu. Oh, bukan mau cerita horor anyway haha.

membereskan kamar
pict: Free-Photos, pixabay


Akhir-akhir ini, beberes ruangan jadi lebih sering dalam seminggu atau seminggu setengah. Hal yang saya sadari adalah bebersih kali ini membutuhkan waktu yang lama, biasanya dibagi menjadi dua atau bahkan sampai tiga hari kalau deep cleaning. Saya menyadari bahwa ruangan ini perlahan menjadi mulai penuh dibandingkan tahun sebelumnya, padahal saya menyukai konsep minimalis.

Saya jadi teringat akan instastory dari beauty vlogger yang membedah penyimpanan make upnya dan banyak sekali yang expired. Ngelihatnya sendiri suka 'eman' dan gatal karena fungsi dan manfaatnya sia-sia karena tak terpakai. Ketika proses membersihkan ruangan akhir-akhir ini, saya jadi menanyakan pada diri sendiri "now look at you"

Bebersih dan membereskan biasanya terbagi menjadi: menyetrika pakaian, membereskan meja belajar/kerja, merapikan isi lemari pakaian, merapikan kasur, merapikan peralatan skincare dan make up, dan terkadang menata ulang lemari buku. Rutin membereskan dan decluttering kadang masih tetep ada aja barang-barang yang tak terpakai, apalagi kalau nggak rutin ya? Haha. At least dari proses membereskan ini, saya menemukan beberapa hal:

Lebih Aware dan Mindful dalam Membeli

Meskipun skincare dan bodycare nggak sebanyak beauty vlogger atau influencer—jauh malah. Saya menemukan satu dua botol produk skincare yang sudah lewat masa kadaluwarsa. Satu sisi memang ada produk yang tertunda karena sudah tak efektif lagi di wajah jadi menunggu, satu sisi karena di pikiran nih masih merasa tahun 2020 padahal sudah 2021 hahaha. 

Kalau kebayang harga belinya dan diperoleh dengan hasil kerja, rasanya nyesek juga ya karena manfaatnya mubah. Dari sini belajar lagi buat beli secukupnya dan menghabiskan dahulu atau minimal 1/4 terakhir lah baru beli lagi apalagi kalau misalnya udah nggak cocok. Kan kalau skincare juga ada masa abis buka produk, jadi nggak melulu patokannya tanggal expired. Buat apa sih nimbun kalau ternyata malah nggak kepakai? Selain itu jadi lebih plong juga tempatnya dan lebih lapang.

Ruangan Lebih Lapang, Begitu Juga Pikiran

Hal yang menyenangkan dari beberes dan merapikan adalah ruangan jadi lebih tertata dan lebih luas. Saya sendiri menyukai ruangan yang justru memiliki space dalam jangkauan pandangan—terlebih lagi kalau sedang mengerjakan banyak hal di laptop. Ini sedikit tricky karena berkebalikan dengan ibu saya yang lebih menyukai banyak barang (dalam artian menyiapkan sebagai cadangan, tak berlebihan), jadi kalau ngelihat ruangan nggak rapi bawaanya...pusing. Hahaha.

Sebenernya konsep minimalis bagi saya ini bukan disengaja atau diniatkan sekali, namun memang feel atau mood cocoknya dan jatuhnya selalu ke sana. Mungkin karena kecenderungan mata dan perhatian itu selalu melihat semuanya, jadi berakibat juga ke efek fokus. Kaya semuanya harus berada dalam jangkauan dan kontrol, makanya ruangan berantakan saja pengaruh dan bisa bikin nggak fokus. Ada juga faktor lain karena saat kecil diajarkan untuk sederhana, pun dulu serba kekurangan jadi mau nggak mau ya harus berhemat haha. Namun ternyata itu bermanfaat valuenya sampai sekarang, meskipun misal bisa aja nih nurutin semua dorongan impulsif—balik lagi nyamannya di konsep minimalis.

Hati serasa lebih merasa content dan lega karena konsep minimalis ini, bener-bener less is more. Kalau ngambil kata-kata Marie Kondo sih, sparks joy ya karena sedikit jadi lebih menghargai barang yang ada secara mindful juga. Soalnya, punya banyak barang juga artinya butuh waktu untuk merawatnya, butuh tenaga dan pikiran juga.

Memilih minimalis juga berpengaruh pada bagaimana saya berpikir secara efisien, misalnya dalam pembelian barang secara secukupnya. Minimal, nggak sering-seringlah terkena diderot effect atau terbentuk keinginan membeli barang lainnya akibat adanya barang lain. Jadinya mengurangi impulsif, karena memang fokusnya pada kebutuhan. Atau diderot effectnya malah jadi efisien karena patokannya adalah cukup dan bermanfaat. Belum sempurna banget sih, masih dilatih mengolahnya karena masih ada satu benda yang belum bisa saya tahan-tahan, yaitu buku

Menemukan Hal-Hal Baru, Termasuk Diri Sendiri

membersihkan ruangan

Saya pernah membuat status di Facebook yang isinya kira-kira begini "beberes kamar ah, siapa tahu nemu tujuan hidup". Nah kalau ini sih pas lagi deep cleaning & organizing, waktu itu konteksnya adalah ketika masih berada di kamar asrama.

Kalau membersihkan dan merapikan ulang, kan pastinya ada posisi atau letak yang berubah. Meskipun dalam pikiran serasa semuanya sudah dalam jangkauan, suka nemu aja barang-barang yang terskip dalam ingatan. Seringnya menemukan catatan baik dalam buku catatan maupun di buku-buku modul, tak ayal sering menimbulkan momen sentimentil.

Hidup telah lumayan banyak berubah, kalau nemu catatan di masa lalu tuh serasa diingatkan kembali. Betapa sudah banyak sekali hal berubah. bertapa dulu ternyata pernah seberani itu, dan betapa diri ini terbentuk dari berbagai banyak pilihan-pilihan. Di antaranya diawali dengan ketakutan, kecemasan, menghantui sampai berminggu-minggu tapi lihatlah, pada akhirnya ternyata bisa bertahan. Kadang kaya gini-gini tuh bikin merenung "kalau misalnya dulu ngambil pilihan berbeda, bakal kaya gimana ya?"

Hidup itu ternyata yah, membawa ke banyak kehilangan, pertemuan, rasa sakit, kecewa, marah. Ternyata juga diri ini udah bukan versi yang dulu lagi, in a good or not good way. Toh, hal apapun selalu memiliki dua sisi koin kan? Kalau pun misalnya diberi opsi kembali ke masa lalu dan kesempatan untuk memperbaiki, tetep sih nggak akan merubah apa-apa karena it is what it is.

Tak jarang juga jadi mengingatkan memori-memori lama, kalau kemarinan mengingatkan ke masa kuliah yang riuh, banyak kegiatan, dan menyenangkan tuh karena belum mikirin full mengenai uang untuk hidup. Sehari-hari isinya mengikuti kelas, makan siang yang nggak tahu kenapa bagi saya adalah rutinitas favorit (mungkin karena sering bersama teman), menjelajahi tempat, berdiskusi mengenai yang dipelajari akademis, serta menjalani hobi dengan penuh. Tahu sih, kalau yang diingat-ingat otak pasti yang indah-indah aja, jadi memori kaya gini cukup untuk mengolah rasa lagi dan bukan tinggal di dalamnya. Wah oke juga nih kata-kata.

Anyway, cerita kaya gini aja ikut lega. Bagi saya, momen beberes itu kaya cara self-healing terutama nyetrika. Di awal postingan ini menyebutkan kalau memulai hari dengan beberes, namun sebelumnya ada pre memulai yang lebih awal lagi yaitu nyetrika jam setengah 1 pagi setelah nyelesaiin kerjaan. Memang akhir-akhir ini lagi sering overthinking yang bikin susah sekali tidur, nah berhubung biasanya jadi cuma skrolling, kan lebih baik manfaatin tenaga untuk merapikan pakaian-pakaian kusut. Hasilnya? Pakaian jadi rapi lebih awal, dan badan capek jadi bisa kebawa tidur. Bonus, jadi bisa sekalian dengerin podcast! Yup, nyetrika adalah momen sekalian dengerin podcast, sejam itu mayan sekali dapet insight hahaha.

Beside that, beberes meskipun niat awal tuh males-malesan dan nggak mood, tapi sejauh ini malah justru selalu berhasil bikin hati lebih rileks. Pokoknya kalau udah mulai nggak fokus dan cemas mulu, alihin ke kegiatan fisik beberes gini ternyata bermanfaat banget. Itu kalau menurut opini personal ya, saya jadi penasaran adakah hal-hal di atas yang dialami teman-teman juga? Boleh banget dong share pengalaman unik saat beberes atau merapikan ruangan! :D

Tulisan ini merupakan draft yang sebetulnya sudah selesai pada 16 September 2021.
***

9 komentar

  1. Sejak mengenal gaya hidup minimalis, saya nggak pernah makan waktu terlalu lama untuk beberes sih mbak. Ya kecuali pas awal tahun itu bersih-bersih ruang laundry yang ya...dah lama ga dibersihin.

    Namun, tetep aja sih, menurut saya waktu ngeberesin ruang laundry itu juga cepet. Lah wong ga ada banyak barang di sana. Kalau ga salah sejam doang saya ngeluarin barang-barang dari ruang laundry, bersih-bersih + ngepel, dan ngembalikan barang-barangnya ke tempat semula.

    BalasHapus
  2. Ih bener banget, beberes rumah tuh rasanya menyenangkan dan bikin pikiran lega. Kalau udah beberes gitu lupa lagi sama yang lain, sangking senengnya. Kalau di aku setelah beresan biasanya nanem taneman, sampe dirumah banyak banget tanaman dari mana-mana. Bahkan sampe ada yang nitipin tanemannya buat kurawat hha

    BalasHapus
  3. Seperti halnya kegiatan lari pagi, seringkali kegiatan bebersih ruangan pun akan memaksa kepala untuk mengulang, mengulang, lagi, lagi dan lagi, perihal apa saja yang telah terjadi. Dan, seketika akan memaksa kepala untuk berkontemplasi memikirkan semuanya. memikirkan tentang apa saja yang kurang di dalam hidup, memikirkan apa saja yang sebenarnya dicari dari hidup ini.

    Jujur saja, kadang kala momen seperti itu sangat menyenangkan, dan sangat layak dilakukan setidaknya sebulan sekali. Selainn untuk membersihkan dan membereskan ruangan, kegiatan itu juga bisa digunakan sebagai ajang untuk membereskan dan membersihkan isi kepala dari hal-hal yang secara tidak sadar memenuhi kepala dan membuat pusing saja.

    kalau untuk saya, biasanya hal yang sering saya lakukan adalah Lari pagi, beberes lemari buku, dan bengong. Iya bengong, saya seringkali memanfaatkan waktu bengong setelah sholat shubuh. sembari menunggu mentari pagi bersinaar, saya biasanya akan memanfaatkannya dengan bengong, dan mendengarkan suara yang ada di kepala maaupun di sekitar.

    Untuk apa? Ya untuk semuanya, untuk menata ulang isi kepala, dan melihat kembali apa yang dimiliki, dan apa yang tidak dimiliki.

    WAKTU YANG TEPAT UNTUK BERKONTEMPLASI

    BalasHapus
  4. Betul banget, beberes itu bikin ruang lapang dan pikiran lebih fresh. Enak banget kalo ruangan rapi dan bersih itu. Kadang pengen rumah ala home decor, tapi anak masih kecil jadi nggak mungkin selalu rapi terus.

    Kadang pusing juga udah beres-beres, fresh, nyaman eh berantakan lagi dalam beberapa menit. Wkwk. Gimana lagi ya?

    Nyetrika juga suka jadi waktu "me time" loh buat saya. Bisa drakoran atau dengerin lagu kesukaan. Sama ya ternyata.

    BalasHapus
  5. Saya sendiri juga menemukan kesenangan ketika beberes ruangan lebih tepatnya kamar sendiri. Saya paling nggak betah melihat barang yang tidak diletakkan kembali pada tempatnya setelah digunakan.

    Jadi tiap barang tuh disusun rapi, sehingga mudah untuk menemukannya kalau ingin digunakan kembali.

    Yang menyenangkan kalau beberes itu, suka Nemu beberapa lembaran uang, soalnya kalau tiap kembalian seribu dua ribu biasanya saya simpan di meja nggak masuk dompet.

    Tapi kalau persoalan nyetrika, nampaknya kita berbeda. Saya paling malas menyetrika, melelahkan. Hehe

    BalasHapus
  6. akupun kalau lagi kumat "konmari"nya, suka lama2 gitu pas beberes. karena jadi inget alasan beli barang ini dan itu.. jadi keinget lagi memori dibalik sebuah barang yang aku beli. ujung2nya berusaha janji ke diri sendiri buat gak impulsif buying kalo lagi ngelihat barang2 lucu wkwk

    BalasHapus
  7. Beberapa minggu terakhir, aku baru menyadari beberes ini jadi salah satu cara aku healing. Dan aku mau lanjutin kalo lagi sedih hehehe

    BalasHapus
  8. Mengamini kalo beberes sungguh membantu healing.
    Rasa lega karena berhasil melawan keinginan menumpuk barang, juga karena telah berhasil memutuskan membuang barang tak terpakai.

    BalasHapus
  9. Setuju sih terkadang beberes bisa jadi self healing lho. Bahkan ada orang yang suasana hatinya sedang tidak baik misalnya habis marah-marah terus dibawa beres-beres kemudian suasana hatinya membaik.

    Keren nih overthinking dibawa kehal yang positif yaitu beresin setrikaan. Daripada scroll medsos yang ada malah tambah overthinking biasanya.

    BalasHapus

Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.