tentang pernikahan dan menjadi orang tua

Daftar Isi Postingan [Tampilkan]
Pandemi ternyata membuat media sosial burung biru lebih ramai dalam bahasan dan opini. Menariknya meskipun seringnya ribut-ribut, dari sana saya sekaligus menemukan bahasan yang selama ini tak muncul di media sosial atau di percakapan keseharian. Bukan berarti hal tersebut tak ada, namun beberapa dianggap normal atau jadi dinomorsekiankan. Kebetulan mungkin karena waktu jadi lebih luang, satu per satu bahasan ini mulai muncul ke permukaan, salah satunya adalah mengenai pernikahan dan tentang menjadi orang tua.

cincin pernikahan
credit: Pexels, pixabay


Dari situ munculah berbagai pendapat dari berbagai latar belakang misalnya dari usia serta pengaruh sosio-ekonomi. Rasanya jadi ingin juga membuat sebuah artikel dengan topik seperti ini, apalagi karena sudah memasuki usia di mana satu persatu teman "seangkatan" mulai menikah. Walaupun tak memiliki target secepat mereka, tentu saja pertanyaan mengenai pernikahan dan menjalani kehidupan rumah tangga itu topik yang disiapkan dan dipelajari jauh-jauh sebelumnya.

Tentang Babak Baru Bernama Pernikahan

Pernikahan menurut saya adalah babak hidup yang nggak main-main. Ibaratnya, sekali kita memasuki dan membuka pintu tersebut maka tak ada lagi jalan kembali, "sudah terjebak" selamanya. Iya terdengar menakutkan, apalagi jika tanpa persiapan dan niat yang besar untuk berkompromi pada kehidupan pernikahan nanti. Menikahlah ketika sudah siap bukan karena merasa tertinggal atau "bingung wah mau ngapain lagi sebaiknya" di fase hidup saat itu.

Saya sendiri menilai bahwa pernikahan sebagai salah satu babak hidup yang paling berpengaruh selama kita hidup selanjutnya. Bagaimana nanti kita akan berkembang, menjalani peran, mengubah cara-cara pandang, tergantung pada siapa kita akan menghabiskan waktu. Hal-hal yang berpengaruh sebelum pernikahan ini ada pada kehidupan yang melatar belakangi saat kecil (pola asuh, akses, pendidikan pertama), kemudian yang kedua saat memasuki usia remaja akhir dan dewasa awal di mana umumnya mulai mengenal mentor dan mencari nilai-nilai dalam hidup, dan yang terakhir ini pernikahan itu sendiri.

Kadang "ngeri" sendiri kalau mendengar orang yang diharap dipercayai menghabiskan sisa umur malah menjadi orang yang tak lagi dikenal. Atau tiba-tiba di tengah jalan berpisah karena memang ya, sudah habis masa jodohnya. Merawat sebuah hubungan rasanya easier said than done dan diri sendiri, cepat atau lambat harus bersiap jika menghadapi hal-hal yang membuat takjub. Ah, kadang berpikir seperti ini sedikit membuat menghela napas dan berdoa banyak-banyak agar diberikan jodoh beserta keluarganya yang baik dan menyanyangi secara utuh dan penuh (dan tetangga serta saudaranya haha), nyambung, saling menyayangi, dan sama-sama dapat merawat kehidupan.

Ada beberapa hal dan pola yang perlu diperhatikan dalam pasangan sebelum nanti menikah. Sebisa mungkin memang bagaimana 'nyambung'nya ini sih, bagaimana nanti apakah siap berkompromi, bagaimana mengambil keputusan bersama, bagaimana ego sejauh apa mempengaruhi keseharian, dan jangan lupakan hal-hal tersebut dalam diri sendiri juga.

Tentang Selesai dengan Diri Sendiri dan Luka Batin

tentang pernikahan
credit: Free-Photos, pixabay

Kita nggak bisa mengharapkan bahwa kebahagiaan paripurna itu nanti adanya setelah menikah. Justru akan bertambah tanggung jawab dengan peran-peran baru. Pasti di sana akan menata dan mempertimbangkan ulang perbandingan dengan saat-saat masih single. Orang, sebanyak apapun teori yang dibaca dan dipelajari juga pasti pada praktiknya tak akan berjalan selurus itu, kan?

Baik perempuan maupun laki-laki, saya rasa perlu menyelesaikan urusan di belakang dan menyembuhkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum menikah. Pasangan kita nantinya bukan panti rehab penuh waktu sukarela atau pangeran/putri penyelamat seperti dalam dongeng-dongeng. Tak perlu harus sempurna tentu saja, namun tekad untuk tetap konsisten berproses itu penting. Iya, pasangan memang bisa jadi perpanjangan tangan Tuhan yang luar biasa pada kita untuk menjadikan versi diri sendiri yang lebih baik dan mekar, namun tentu saja tak lepas tangan tanggung jawab atas diri sendiri juga.

Penting untuk menyadari pola-pola berulang dalam keseharian yang bisa jadi menunjukan unfinished business, pola perilaku yang didasari dari akibat pola asuh dan luka pengasuhan (inner child), dan juga bentuk lainnya misalnya trust issues atau insecurity. Kalau tak kunjung disadari dan ditemukan solusi terbaiknya, maka pengulangan-pengulangan ini akan mempengaruhi ketika nanti menjadi orang tua dan pola asuh kepada anak. We repeat on what we don't repair

Menurut saya, penting untuk mengikuti konseling pernikahan sebelum menikah ini nanti terutama bagi yang memang mempunyai trauma atau luka-luka masa lalu yang belum diselesaikan. No, no, bukan artinya seakan tak berhak atau tak layak merasakan bahagia namun justru inilah kunci penting akan meraih bahagia dan tujuan bersama. Kehadiran tenaga profesional itu ada ya memang untuk membantu kita menemukan solusi, jadi tak perlu merasa sendirian dan merasa tidak layak. Ya, keadaan-keadaan di atas yang ada dan dipendam bertahun-tahun memang rasanya bukan kita sendiri penyebabnya, hal tersebut bukan hal yang bisa dikendalikan, namun dengan penerimaan dan bertanggung jawab untuk diri yang lebih bahagia adalah perjalanan memutus rantai yang luar biasa. If you never heal from what hurt you, you'll bleed on people who didn't cut you

Pasalnya, kehidupan pernikahan yang tak bahagia bisa merembet ke berbagai hal termasuk ketika nanti ketika menjadi orang tua. Satu masalah yang menjadi akar, jika dari awal disadari dan dipertemukan solusi terbaiknya pastinya bisa mencegah luka batin masa kecil. Kedengarannya memang hal yang ideal sekali dan bukan begitu barangkali hal-hal dalam hidup bekerja. Ya, saya tahu bahwa tak ada keluarga yang sempurna, namun hal-hal yang hampir mirip seperti ini sebaiknya tak berulang.

Tentang Menjadi Orang Tua dari Seorang Anak

menjadi orang tua
credit: Free-Photos, pixabay


Saya jadi ingat sebuah puisi dari Kahlil Ghibran dengan judul On Children, yang jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menurut saya jadi lebih indah dan terasa, yaitu:

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
...
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi



Rasanya selalu patah hati ketika melihat atau mendengar cerita seorang anak yang mengenal apa itu rasanya patah dari orang tua sendiri. Terlalu tak adil seorang anak menderita karena orang tua yang tak bertanggung jawab. Mereka mencari secara mandiri penyembuhan untuk batin yang tentu saja membutuhkan waktu yang panjang, mencari berbagai macam penguatan, dan mencoba apapun untuk percaya kembali pada kehidupanapapun dari pada memilih untuk hancur.

Kalau denger cerita atau nasib anak-anak yang kurang beruntung, ingin sekali mengatakan bahwa menjadi orang tua seharusnya bukan untuk semua orang. Anak kan tak bisa memilih dan memutuskan apakah dahulunya ingin dilahirkan dari kedua orang tua ini, menjaganya dengan kasih dan tanggung jawab, dihargai suara dan pendapatnya dalam diskusi-diskusi, mendapatkan rasa aman, dan bersiap-siap jika suatu saat kelak memiliki pilihan-pilihannya tersendiri. Terlihat ideal sekali ya? Memang sih, saya belum pernah menjadi orang tua dan mungkin nanti akan ada yang luput dari tulisan ini setelah mengalaminya langsung. Namun sebisa mungkin mempersiapkan diri dan tak mengulangi beberapa hal dari orang tua yang menurut saya kurang atau bahkan tidak pas dalam pengasuhan.

Tentang Memaafkan Orang Tua

Beberapa dari kita mungkin tumbuh dewasa tanpa merasakan privilese dalam bentuk yang bermacam-macam. Misalnya keterbatasan biaya pendidikan dan hidup, tak mendapatkan pola asuh yang terbuka dan menghargai pendapat, atau keinginan-keinginan dan mimpi-mimpi sendiri yang tak pernah didengarkan dan selalu dibanding-bandingkan. 

Memang tak mengenakkan rasanya bertahun-tahun memendam rasa marah dan tumbuh tanpa menceritakan apa-apa yang terjadi pada orang tua. Beberapa tak mendapatkan figur atau sosok panutan dari orang tua, atau bahkan mati-matian tak ingin menjadi salah satu di antaranya ketika dewasa atau menjadi orang tua nanti. Tak mudah membangun dan mempertahankan citra diri dan menyembuhkan diri sendiri, pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah layak, apakah bisa, dan apakah bisa berdamai kemudian berdampingan dengan luka turut menemani maju mundurnya sebuah proses.

Hubungan anak dan orang tua memang rumit serta masing-masing memiliki ceritanya tersendiri yang tak bisa dan tak penting untuk dibanding-bandingkan. Beberapa butuh waktu yang lama sekali untuk dapat memaafkan orang tua sendiri. Iya, kita tak bisa memilih keluarga dan orang tua seperti apa saat kita sebelum lahir dahulu. Namun, semoga setelah bertahun-tahun larung berada dalam 'mental korban' dan tak mendapatkan ketenangan dalam perasaan-perasaan mengikat, kita dapat berdamai dan membebaskan diri dengan memaafkan

Memaafkan bukan selalu artinya kita kalah dan tak melawan lagi, apalagi ketika dari selama ini jawaban yang kita butuhkan adalah ucapan maaf dari orang tersebut (dalam hal ini orang tua). Memaafkan artinya membebaskan diri dari perasaan membelenggu dan menerima bahwa kita masih layak mencapai mimpi dan harapan-harapan. Memberikan maaf karena di samping perlakuan-perlakuan dan sikap-sikap yang menimbulkan luka membekas, ada beberapa hal yang tak terpisahkan seperti gap antar generasi dan bagaimana komunikasi itu nyata adanya. Memaafkan bahwa, menjadi orang tua itu hal yang pertama bagi mereka dan di dalamnya adalah proses belajar. Maafkan mereka yang bisa jadi membuat diri bingung bagaimana harus berbakti karena "terlalu berbeda" atau beberapa menjadi pemicu trauma. 

Memaafkan bahwa, ada hal-hal yang barangkali tak kita ketahui bagaimana mereka memberikan kasih dan cintanya. Maafkan dan doakan agar kedua orang tua dan diri sendiri mampu menjalani hari-hari diliputi dengan cinta dan penguatan-penguatan. Memberi maaf bahwa mungkin mereka juga memiliki luka masa lalu yang tak sempat disembuhkan, tak seperti dengan mudahnya kita sekarang mengenal akses akan konseling dan pemahaman akan kesehatan mental dan pemulihan luka batin. Memberikan maaf bahwa di samping kita tak mendapatkan kesempatan-kesempatan seharusnya, mereka juga memiliki keterbatasan dan hal-hal dibaliknya yang tak kita pahami.

Kalau kata Gus Miftah, "memaafkan itu tidak akan bisa menghapus masa lalu, tapi pasti akan memperindah masa depan" , tak bisa juga mengubah masa lalu sesuai apa yang kita idealkan, Maafkan diri juga  Namun percayalah, memaafkan dan proses berdamai akan membuka jalan-jalan ke hal yang luar biasa. Anyway, mungkin beberapa membutuhkan kata-kata ini:

i am sorry that the world wasn't always kind to you

i am sorry that the world took so much from you

but here you are quotes


Well, saya bingung bagaimana mengakhiri tulisan ini, cukup banyak untuk mengutarakan unek-unek refleksi diri menjadi manusia yang berusaha dalam perjalanan dari satu peran ke peran lain termasuk nanti jika diberikan kesempatan menjalani kehidupan pernikahan. Tentu saja saya masih perlu banyak belajar dari yang sudah berpengalaman dalam merawat kehidupan berumah tangga ini, sungguh perjalanan yang masih sangat panjang hahaha.
***

21 komentar

  1. Aku simpen di WA dulu aja linknya. Perlu dibaca berkali-kali ini.

    BalasHapus
  2. Semangat Mbak :) Pernikahan, rumah tangga, dan menjadi orang tua memang tidak mudah. Dan semua yang Mbak katakan di atas itu benar adanya. Memaafkan dan selesai dengan diri sendiri adalah jalan utama untuk menciptakan sakinah dalam rumah tangga. Ujiannya gak main-main. Tapi selama kita punya niat kuat, insya Allah rumah tangga malah jadi berkah tersendiri buat kita :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul, kalau niat kita bagus dan memang sudah "siap", inshaAllah rezeki dan jalan akan selalu ada dan juga dipermudahkan.

      Hapus
  3. Pernikahan memang menjadi salah satu babak baru kehidupan. Harus dipikirkan matang-matang, apalagi menyangkut banyak pihak. Belum lagi jika memutuskan menjadi orang tua. Bisa saja kita punya luka masa lalu sebagai anak yang harus dituntaskan, karena tentunya kita ingin membawa pernikahan dan kehidupan sebagai orang tua yang lebih baik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali, untunglah sekarang sudah banyak edukasi mengenai hal ini di internet. Tinggal bagaimana nantinya para calon memilih yang tepat dan dengan sadar karena pernikahan dan menjadi orang tua adalah dua hal yang sama-sama harus bertanggung jawab

      Hapus
  4. ketika aku akan menikah, maka aku harus sudah selesai dengan urusanku:
    1) masa lalu. udah gak ada lagi cerita belum move on dari mantan. aku harus merdeka dengan perasaanku yang baru
    2) mimpi-mimpi. mimpi-mimpiku sudah harus lunas. misal: S2, punya kerjaan, dll. Jadi gak ada penyesalan karena ada mimpi yang belum lunas.
    Tentunya mimpi-mimpi yang bisa ditoleransi lah. kalau mimpi punya mobil kan kelamaan ya, hahaha. Contoh lain: travelling mendaki ke gunung manaa gitu, nonton konser yang mahal, dll
    3) bahagia. sebelum menikah, aku bahagia. maka setelah menikah, aku juga harus tetap bahagia. Kalau ada sedih-sedihnya dikit gapapa.
    Bayangkan nih, masa mudaku sedih-sedihan melulu, lalu berharap menikah akan membuatku bahagia. ya sama saja. bahagia itu konsep penerimaan diri atas sesuatu, bersyukur atas sedikit banyaknya anugerah. jadi, ini soal mental. mentalku harus siap dan stabil

    begitupun pasanganku. makanya aku cari pasangan yang merdeka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kece, Kak Rhos. Sudah move on dan healing dari masa lalu, mimpi-mimpi personal yang telah selesai dan lunas, sudah bahagia atau penuh akan diri sendiri dulu. Mental memang ya yang penting, penting sekali untuk mengenali kondisi diri sendiri tentunya

      Hapus
  5. Denger 2 kata 'terjebak selamanya' kok ngeri banget ya.
    Semoga kita terbebas dari hubungan model itu.

    Pernikahan itu memang ibadah paling lama dan butuh banyak stock cinta, kepercayaan, kasih sayang, kejujuran, dll.

    Setuju juga dgn 'selesai dengan Diri sendiri'. Jangan sampai pas masih simpan trauma inner child, jadi ngaruh ke hubunganndgn pasangan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe sebenernya yang mau ditekankan di atas adalah tentang tanggung jawab dan komprominya, karena ya memang pasti untuk hidup selanjutnya ada orang lain yang membersamai :D

      Hapus
  6. Aah...banyak sekali PRnya sebelum menikah yaa..
    Aku pikir menikah itu hanya mewujudkan impian masa anak-anak dan hidup happily ever after bersama orang yang kita kasihi. Ternyata tidak semudah itu.
    Huhuu~

    Bagus banget bahasannya niih..
    Perjalanan panjang barulah akan dimulai setelah ijab kabul diucapkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu waktu kecil, kukira konsep pernikahan juga begini namun ooo tentu saja bukan :D

      Hapus
  7. kalo di film-film, menikah adalah akhir dari segalanya dalam artian menikah selalu digambarkan dengan kehidupan yang happy (biasanya ending sebuah drama/film), tapi pada kenyataannya, menikah adalah awal dari sebuah kehidupan baru. Orang yang kita nikahi yang awalnya sangat kita cintai, bisa saja di tengah perjalanan kelihatan "wajah aslinya" hingga membuat kita kaget, hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itulah, jebakan ini yang membahayakan karena realitanya berbeda :D

      Hapus
  8. Menikahnya sudah, tinggal belajar jadi orang tuanya yg harus terus dipersiapkan karena belum diberikan rejekinya.

    Tapi benar, menikah itu memang harus dipersiapkan secara mental. Poin-poin yg mbak sampaikan juga perlu ni dibaca buat yang belum pada nikah. Karena nikah bukan cuma sekedar cinta cintaan toh 😆

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga doa-doanya dijabah ya, Mbak :D inshaAllah

      Nah iya benar kan bukan cinta-cintaan saja :D

      Hapus
  9. Aku sepakat dengan kalimat ini mbak. Pernikahan menurut saya adalah babak hidup yang nggak main-main. Ibaratnya, sekali kita memasuki dan membuka pintu tersebut maka tak ada lagi jalan kembali, "sudah terjebak" selamanya.

    Mau nggak mau kalau sudah terjebak, ya harus dijalani sebaik-baiknya. Kalaupun ada kerikil sebisa mungkin diatasi bersama. Kecuali, dari dua pihak ini ada yang tidak saling menyemangati. Ya bisa saja pernikahan akan kandas kan? Tapi aku yakin tidak satupun pasangan ingin pernikahan berakhir begitu saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, tentu saja harapan semua orang yang menikah agar pernikahan langgeng. Tentu saja kerikil-kerikil ini harus dihadapi bersama, atau saling mengingatkan

      Hapus
  10. sebagai orang tua jujur aku takut banget nggak bisa mengemban tugas ini dengan baik. sadar banget ada banyak kekurangan yang kumiliki sebagai orang tua makanya sekarang lagi rajin cari buku buat mengatasi berbagai kekuranganku sebagai orang tua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ketakutan ini memang selalu ada ya, Mbak. Namun kalau sudah disadari dan diusahakan dengan dipelajari, inshaAllah akan diberikan jalan-jalannya

      Hapus
  11. Saya suka dengan kata-kata Gus Miftah di atas.

    BalasHapus

Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.